Kamis, 25 September 2014

Membanding-bandingkan anak, yang boleh dan tidak

Suatu ketika, saya mengambil buku raport sekolah anak. Penasaran juga; dapat ranking berapa anak saya di kelasnya. Ternyata, sekolah tempat anak saya menimba ilmu tidak memberikan ranking pada siswa-siswinya. Bisa bikin minder siswa yang tidak dapat ranking, katanya.

Usai pembagian raport, kami para wali murid kasak-kusuk, nanya ke sana ke sini tentang nilai dari masing-masing anaknya. Ternyata keingintahuan yang ada pada diri saya juga sama dengan yang lainnya. Akhirnya, kami pun bisa menyusun klasemen dari anak-anak kami. Walaupun pihak sekolah tidak memberikan ranking.

Pada kesempatan yang lain, saya bertemu dengan beberapa orang tua murid yang tidak mau menyebutkan nilai dari anaknya, saat ditanya orang lain. Alasannya anak bukan untuk dibanding-bandingkan. Usut punya usut, ternyata di sekolah ini habis diadakan seminar parenting buat para orang tua murid.

Pendapat Sebagian Ahli

Sebagian ahli parenting memang berpendapat bahwa anak kita bukanlah objek untuk dibanding-bandingkan. Dikomparasi satu dengan yang lain. Anak-anak kita bisa tersinggung, malu atau bahkan minder bila dibanding-bandingkan dengan teman-temannya yang lebih hebat, yang lebih pintar dan kelebihan lainnya. Ada benarnya.

Setiap anak adalah pribadi yang unik yang pasti punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. Tugas kita adalah mendorong kelebihan yang ada pada anak kita tersebut agar tumbuh dan berkembang. Saya setuju dengan point ini.

Namun, saya pribadi punya sedikit perbedaan pendapat terkait anak tidak boleh dibanding-bandingkan. Bagi saya, parenting adalah sebuah ilmu. Ilmu yang dipelajari dari pengalaman orang tua (parent) dalam mendidik anak. Pengalaman orang lain, pengalaman pribadi dan kaitannya dengan disiplin ilmu yang lain seperti psikologi, keagamaan serta disiplin ilmu lainnya.

Bagi saya, setiap ilmu, aturan, kaidah yang sumbernya bukan dari Al-Qur’an dan Hadist maka kebenarannya bisa relatif. Nisbi. Bisa diperdebatkan. Bisa berubah ukuran kebenarannya.

Seperti halnya dalam masalah pendidikan anak. Manakala kaidah di dalamnya masih merupakan hasil pemikiran manusia, maka masih berlaku hukum nisbi tadi. Kebenarannya tidaklah mutlak. Berbeda dengan kaidah dalam pendidikan anak yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadist. Contoh sederhananya terkait dengan menyusui. Dalam Al-Qur’an diatur tentang lamanya menyusui anak yang sempurna adalah dua tahun. Maka hal ini bersifat paten. Tidak perlu didebat. Tidak perlu didiskusikan lagi. Kalaupun didiskusikan adalah dalam rangka mencari kebaikan-kebaikan yang ada di dalamnya. Bukan dalam rangka menolaknya.

Demikian juga terkait dengan umur dimulainya anak kita dipisah tempat tidur dan umur mulai menjalankan shalat. Ada sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Abu Dawud yang menyatakan “Perintahkanlah anak-anak kalian shalat ketika usia mereka tujuh tahun, pukullah mereka karena (meninggalkan)-nya saat berusia sepuluh tahun dan pisahkan mereka di tempat tidur”. Ini juga paten. Tidak perlu didebat. Tidak perlu didiskusikan untuk menolaknya. Yang perlu didiskusikan adalah bagaimana agar anak-anak kita bisa menerapkannya. Dan kita sebagai orang tua bisa mengarahkan dan membimbing anak kita agar bisa mempraktekkannya.

Bagaimana membandingkan, Itu Kuncinya

Kembali ke masalah awal. Ketika sebagian ahli parenting berpendapat bahwa anak janganlah dibanding-bandingkan, saya berpendapat lain. Menurut saya, tergantung bagaimana konteks kita membanding-bandingkannya !

Apabila kita membandingkan anak kita dengan anak lain, dalam hal nilai misalnya; dengan mengatakan “Nak, kamu ini gimana sih ? Nilai matematikamu cuma 54. Sedangkan si Fulan temanmu bisa 100. Padahal kamu sekelas, gurunya sama, soalnya sama kok kamu kalah jauh?”

Kalau begini caranya memang benar, anak kita bisa down. Sudah malu dapat nilai sedikit, sama orang tuanya makin dipermalukan.

Namun, akan berbeda efeknya buat anak kita apabila kita menyampaikan kepada anak kita berbeda caranya. ” Nak, hebat kamu. Soal matematika sebanyak dan sesusah ini kamu bisa dapat nilai 54 ! Nggak usah sedih. Ayah yakin kamu pasti bisa lebih dari ini. Lihat temanmu si Fulan. Ternyata dia bisa dapat 100. Pasti kamu juga bisa. Lha wong kalian sekelas, gurunya sama, soalnya juga sama kok. Sekarang lebih semangat lagi, lain kali insyaalloh pasti kamu juga bisa dapat nilai 100 !”

Beda khan?

Ya, beda cara menyampaikannya dan saya yakin akan berbeda pengaruhnya kepada psikologi anak kita. Padahal kita sama-sama melakukan perbandingan. Sama-sama mengkomparasikan anak kita dengan anak yang lain. Artinya membandingkan anak bukanlah hal yang terlarang. Bukan hal yang tabu. Tergantung konteksnya.

Suatu Hal yang Tidak Mungkin Dihindari

Kita juga perlu menyadari bahwa saat anak kita memasuki dunia kerja, maka seleksi pertama yang dilakukan oleh instansi/perusahaan tempat mereka akan bekerja juga akan dilakukan melalui perbandingan. Anak-anak kita akan dibanding-bandingkan dengan calon pegawai yang lain. Dibandingkan pendidikannya, lebih spesifik bahkan IPK-nya. Dibandingkan keterampilannya. Dibandingkan kemampuannya berkomunikasi. Dan hal lain yang dianggap penting dalam menentukan siapa yang terbaik di antara mereka.

Pada akhirnya komparasi ini tetap akan dialami anak-anak kita. Dalam berbagai hal dan kondisi. Saat sudah bekerja pun mereka tetap akan dibandingkan dengan pegawai lain. Dibandingkan kedisiplinannya. Dibandingkan prestasinya. Dibandingkan kinerjanya. Dan sebagainya.

Karenanya, menurut saya; apabila sedari kecil anak kita tidak boleh dan tidak pernah dibandingkan maka mereka akan kaget saat memasuki arena kompetisi dalam berbagai hal. Tentunya sekali lagi cara kita membandingkannya inilah yang menjadi kunci.

Di jepang semangat berkompetisi, berlomba sangat ditumbuhkan. Agar anak-anak di sana lebih kompeten. Lebih berdaya saing. Namun tentunya kompetisi yang ditumbuhkan juga fair dan penuh semangat positif. Dan sekarang kita bisa melihat seperti apa Jepang dibanding Indonesia.
Jadi…. Masih tidak bolehkah anak kita dibanding-bandingkan ??? Terserah anda si “empunya” anak yang hanya dititipi oleh Alloh SWT….. Wallahu’alam.

Rakhmat Basuki, Ayah dari dua orang anak yang masih bersekolah, tinggal di Palangka Raya Kalimantan Tengah

http://www.pkspiyungan.org/2014/08/membanding-bandingkan-anak-yang-boleh.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan posting komentar Anda, insya Allah berguna...