Senin, 08 September 2014

Bagaimana Guru Mensikapi Kurikulum 2013

Apa yang ada di dalam pikiran kita ketika melihat personifikasi visual ini? Harus diakui, penerapan sistem pendidikan saat ini masih menganut sistem yang menilai dengan menggunakan satu parameter saja, contohnya ujian nasional. Adanya suatu inovasi pengembangan dan pembaharuan paradigma dalam dunia pendidikan Indonesia untuk bersiap menghadapi perkembangan teknologi dan tantangan di masa depan mutlak dilakukan. Pengembangan kurikulum saat ini (Kurikulum 2013) yang dikembangkan dengan menggunakan sistem tematik-integratif diharapkan mampu menjawab tantangan yang terjadi pada sistem pendidikan Indonesia saat ini. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui Wamen bidang Pendidikan, Musliar Kasim, menyampaikan bahwa titik berat kurikulum 2013 adalah bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan yang lebih baik dalam melakukan: (1) observasi, (2) bertanya (wawancara), (3) bernalar, dan (4) berkomunikasi dengan obyek pembelajarannya adalah: (1) fenomena alam, (2) sosial, (3) seni, dan (4) budaya. Lalu, pertanyaannya adalah cukupkah penataulangan (jika boleh tidak menyebutnya sebagai perubahan) kurikulum ini menjawab tantangan abad 21 ini? Mampukah kurikulum ini terimplementasi untuk memfasilitasi para peserta didik jaman sekarang yang tergolong sebagai digital native? Tentunya akan banyak versi jawaban yang muncul untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Namun terlepas dari itu, tentunya yang berperan penting dalam proses ini adalah guru, sang pengemban kurikulum.
Pergeseran fungsi guru dari “the only source” (teacher center) ke arah guru sebagai fasilitator (student center), hendaknya dijadikan sebagai katalis agar para guru menjadi pengajar yang kreatif dan inovatif dalam membantu proses belajar siswa. Empat pilar pendidikan oleh UNESCO, yaitu: (1) Learning to Know, (2) Learning to Do (3) Learning to Be, dan (4) Learning to Live Together hendaknya dijadikan dasar dalam menjamin terlaksananya proses pembelajaran dan pendidikan yang baik. Seorang guru harus jeli dalam memetakan kemampuan peserta didiknya secara objektif, artinya diferensiasi kemampuan siswa sangat perlu dilakukan oleh guru. Rheinald Kasali menyatakan bahwa “janganlah kita mengukur kualitas anak-anak kita dengan kemampuan kita yang sudah jauh di depan.” Seorang guru harus selalu memberikan encouragement dalam proses belajar peserta didik agar mereka termotivasi untuk menjadi tahu dan bisa dalam belajar. Sehingga dengan adanya encouragement ini, secara tidak langsung dapat memberikan dampak positif dalam sistem pendidikan. Dalam hal ini, penulis ingin mengungkap bahwa pendidikan yang baik memang memerlukan kedinamisan kurikulum yang sesuai dengan tantangan masa depan dan pengemban kurikulum, yaitu guru, yang sanggup menginspirasi dan menstimulus para peserta didiknya untuk belajar bertanya, menemukan solusi dan memecahkan masalah selama proses belajarnya. Hal ini juga sejalan dengan proses pengembangan kemampuan berpikir tingkat tinggi pada siswa, yaitu (1) berpikir kritis, (2) berpikir kreatif, (3) memecahkan masalah, dan (4) membuat keputusan. Melvin Kornner menyatakan, “in order to be treated fairly and equally, children have to be treated differently.” Sehingga, personifikasi visual pada bagian awal tulisan ini semestinya tidak akan ada lagi di masa depan demi terwujudnya cita-cita bangsa Indonesia dalam hal mencerdaskan kehidupan bangsanya sendiri. (B.S. Wiratama)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan posting komentar Anda, insya Allah berguna...