Salah satu pilar penting bagaimana kita melakukan pembinaan akidah pada anak-anak kita adalah, dengan
menanamkan kecintaan kepada Allah subhanahu wa ta’ala, memohon pertolongan-Nya, merasa selalu diawasi oleh-Nya, serta beriman kepada qadha’ dan qadar. Karena
hal-hal tersebut merupakan bekal bagi anak untuk menghadapi segala
persoalan hidupnya, baik dimasa kanak-kanaknya maupun dimasa depannya
sebagai ayah dan ibu.
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar
radhiyallahu’anhu bahwa Nabi
shalallahu’alaihi wassalam bersabda
,
“Janganlah kamu mengangkat tongkat terhadap keluargamu, namun tanamkan
rasa takut kepada Allah ‘Azza wa Jalla pada diri mereka.” (HR Thabrani dalam
As-Shaghir dan
Al-Ausath dengan isnad jayyid).
Imam Tirmidzi meriwayatkan hadits dari Ibnu ‘Abbas
rhadliyallahu’anhu, bahwa dia berkata: Pada suatu hari saya pernah membonceng di belakang Rasulullah
shalallahu’alaihi wassalam, lalu beliau bersabda,
“Wahai
anak muda sesungguhnya aku akan mengajarkan kepadamu beberapa kalimat.
Jagalah Allah niscaya Dia juga akan menjagamu. Jagalah Allah niscaya
engkau akan mendapati-Nya ada dihadapanmu. Apabila engkau meminta
sesuatu mintalah kepada Allah. Jika engkau memohon pertolongan mohonlah
kepada Allah. Ketahuilah andaikan saja umat seluruhnya berkumpul untuk
memberikan kemanfaatan kepadamu, mereka tidak akan bisa memberikan
manfaat kepadamu kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tetapkan
untukmu. Dan andaikan saja mereka bersatu untuk menimpakan kemudharatan
terhadapmu, mereka tidak akan bisa memberikan kemudharatan itu
terhadapmu kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tetapkan atasmu.
Pena telah diangkat dan lembar catatan telah kering.”
Dalam riwayat lainnya disebutkan,
“Jagalah Allah, niscaya engkau
temukan Dia ada dihadapanmu. Kenalilah Allah dalam keadaan longgar
niscaya Dia akan mengenalmu dalam keadaan sempit. Ketahuilah bahwa
segala sesuatu yang luput darimu tidak akan menimpamu dan sesuatu yang
menimpamu tidak akan bisa luput darimu. Ketahuilah bahwa kemenangan itu
menyertai kesabaran, kelapangan itu menyertai kesempitan dan kemudahan
itu menyertai kesulitan.” (HR Ahmad, Hakim, dll)
Jika seorang anak telah menghafal hadits ini dan telah memahaminya
secara baik, maka Dia tidak akan mendapatkan kendala dihadapannya dan
tidak akan mendapatkan sandungan di dalam menjalani seluruh
kehidupannya. Hadits ini mempunyai kekuatan yang ampuh dalam memecahkan
persoalan anak, disamping juga memiliki pengaruh dalam spiritualitas.
Hadits ini mempunyai kemampuan dalam mendorong anak menuju ke depan
dengan cara memohon pertolongan kepada Allah
‘Azza wa Jalla,
selalu merasa diawasi oleh-Nya, serta melalui keimanannya kepada qadha’
dan qadar. Anak-anak para sahabat menerima bimbingan ini langsung dari
Rasulullah
shalallahu’alaihi wassalam. Mereka memohon
pertolongan kepada Allah ketika mereka mendapatkan bencana dan mereka
berkeyakinan bahwa tidak ada daya upaya dan kekuatan kecuali karena
bantuan Allah. Mereka percaya bahwa kelapangan itu selalu menyertai
kesempitan dan kemudahan itu menyertai kesulitan.
Jadi, pendidikan mana yang kira-kira bisa memberikan pengaruh
terhadap kejiwaan anak melebihi pendidikan yang diberikan oleh hadits
ini?
Berikut bisa kita saksikan beberapa contoh nyata pada kehidupan para salaf bagaimana mereka menanamkan kecintaan kepada Allah
subhanahu wa ta’ala,
memohon pertolongan-Nya, merasa selalu diawasi oleh-Nya, serta beriman
kepada qadha’ dan qadar. Dan bagaimana hasil yang dicapai dari
pendidikan tersebut terhadap anak-anak mereka.
Imam Ahmad meriwayatkan dari Walid bin Ubadah bahwa dia berkata,
“Aku mengunjungi Ubadah (ayah) ketika sakit, dimana ketika itu aku
membayangkan bahwa ayah akan segera meninggal. Aku katakan kepadanya,
“Wahai ayahku, berikan aku pesan.” Dia berkata, “Dudukkanlah aku.”
Ketika sahabat-sahabat telah mendudukkannya, ayah berkata, “Wahai
anakku sesungguhnya kamu tidak akan bisa merasakan manisnya iman dan
tidak akan sampai pada hakikat pengenalan kepada Allah
‘Azza wa Jalla
sehingga engkau beriman kepada qadha’ dan qadar yang baik maupun yang
buruk.” Aku tanyakan kepadanya, “Wahai Ayah, bagaimana aku bisa
mengetahui takdir yang baik maupun yang buruk?” Ayah menjawab, “Engkau
mengetahui bahwa yang luput darimu tidak akan menimpamu dan apa yang
menimpamu tidak akan luput darimu. Wahai anakku aku mendengar
Rasulullah
shalallahu’alaihi wassalam bersabda
,
‘Sesungguhnya disaat pertama kali Allah menciptakan pena, kemudian Dia
berfirman kepadanya, ‘Tulislah!’ Maka mulai saat itu, pena menuliskan
segala hal yang bakal terjadi hingga hari kiamat.’ Wahai anakku, jika kamu minta tidak dalam keadaan seperti itu, maka engkau akan masuk neraka.”
Suatu hari ‘Umar bin Khathab
rhadliyallahu’anhu menyusuri
jalan saat beliau sudah menjadi amirul mukminin. Di tengah jalan
terdapat sekumpulan anak-anak yang sedang berjalan. Ketika mereka
melihat Umar, maka semuanya lari menyingkir kecuali satu saja, yaitu
Abdullah bin Zubair. Umar merasa heran terhadapnya dan kemudian
menanyakan kepadanya mengenai sebab mengapa ia tidak turut lari
menyingkir. Dia menjawa, “Saya tidak punya kesalahan yang mengharuskan
lari dari Anda, dan saya juga tidak merasa takut kapada Anda yang
mengharuskan saya meluaskan jalan untuk Anda.”
Suatu kali Ibnu Umar sedang melakukan perjalanan, Dia melihat
seorang budak yang sedang menggembalakan kambing, lalu dia berkata
kepadanya, “Apakah kamu mau menjual seekor darinya saja?” Dia menjawab,
“Sesungguhnya ia bukan milikku.” Ibnu Umar kemudian berkata, “Katakan
saja kepadanya bahwa ada serigala yang telah memangsa seekor darinya.”
Budak itu berkata, “Lalu dimanakah Allah?”
Sesudah peristiwa itu hingga sekian lama waktu berikutnya Ibnu Umar
sering mengucapkan kata-kata dari si budak itu, “Lalu dimanakah
Allah?!”
Dikisahkan pula bahwa ada seorang syaikh mempunyai sekian murid.
Namun syaikh ini memberikan perhatian khusus kepada salah seorang dari
mereka. Hal ini membuat murid yang lainnya merasa iri sehingga akhirnya
mereka mengadukan hal itu kepada sang syaikh. Syaikh itu kemudian
berkata kepada mereka, “Mari aku jelaskan kepada kalian!”
Syaikh itu kemudian memberi masing-masing murid seekor burung, lalu
berkata kepada mereka, “Sekarang berpencarlah dengan membawa burung
ini, dan sembelihlah di tempat yang tidak diketahui oleh siapapun!” tak
ketinggalan syaikh juga memberikan burung yang sama kepada murid
kesayangannya.
Sesudah itu, seluruhnya mencari tempat tersembunyi guna menyembelih
burung, dan tak lama kemudian masing-masing kembali dengan membawa
burung yang telah mereka sembelih. Namun si murid kesayangan ini
kembali dengan membawa burung yang masih hidup. Sang Syaikh bertanya
kepadanya, “Kenapa engkau tidak menyembelihnya?” Dia menjawab, “Syaikh
menyuruhku untuk menyembelih di tempat yang tidak dilihat oleh siapapun
dan aku tidak menemukan satu tempatpun yang tidak dilihat oleh
siapapun.” Syaikh kemudian berkata, “Oleh karena itu aku memberikan
perhatian yang khusus kepadanya.”
Imam Ghazali dalam kitab Ihya’nya menampilkan sebuh kisah menarik
sebagai berikut: Sahl bin Abdillah At-Tastari berkata, “suatu hari
ketika saya berusia tiga tahun, pernah bangun malam. Lalu saya
perhatikan shalat yang dilakukan paman saya yang bernama Muhammad bin
Siwar. Pada suatu hari ia berkata kepadaku, “Apakah engkau mengingat
Allah yang telah menciptakanmu?” Saya menjawab, “Bagaimana saya bisa
mengingat-Nya?” Dia menjawab, “Ucapkan dalam hatimu ketika engkau hendak
tidur sebanyak tiga kali tanpa henti,
‘Allah bersamaku, Allah memperhatikanku, dan Allah menyaksikanku.’
Maka saya mengucapkan kata-kata itu pada malam-malam berikutnya,
kemudian saya beritahukan hal itu kepadanya. Dia menjawab, “Ucapkan
tujuh kali setiap malam.” Saya pun mengucapkannya, lalu saya kabarkan
hal itu kepadanya. Ia lantas berkata lagi, “Ucapkan sepuluh kali tiap
malam.” Saya pun mengucapkannya, dan kemudian di dalam hati saya terasa
ada kemanisannya. Sesudah satu tahun berlalu, paman berkata kepada
saya, “Jagalah terus apa yang telah aku ajarkan kepadamu dan lakukanlah
terus hingga engkau masuk kubur karena sesungguhnya hal itu akan
memberikan kemanfaatan bagimu di dunia dan akhirat.”
Maka aku terus melakukan itu bertahun-tahun, sehingga saya dapatkan
kemanisan di dalam hati. Selanjutnya, paman pada suatu hari berkata,
“Wahai Sahl, siapa saja yang merasa bahwa Allah senantiasa bersamanya,
memperhatikan dan menyaksikannya, apakah dia akan bermaksiat (durhaka)
kepada-Nya? Jauhilah kemaksiatan! Aku dahulu pernah menyendiri, namun
kemudian aku dikirim ke madrasah. Aku belajar Al-Qur’an dan berhasil
mengahafalnya ketika baru berusia enam atau tujuh tahun. Aku juga
senantiasa melakukan puasa. Makananku selama dua belas tahun adalah roti
yang terbuat dari tepung gandum.”
Ibnu Zhafar Al-Maghribi dalam bukunya, Anba’ Nujaba’ Al-Abna’
(h.148) membawakan sebuah kisah bahwa Al-Harits Al-Muhasibi ketika
masih kecil melewati sekelompok anak kecil yang sedang bermain di depan
rumah seorang penjual kurma. Al-Harits kemudian berhenti untuk
memperhatikan apa yang tengah mereka lakukan. Pemilik kurma itu
kemudian keluar dengan membawa sejumlah kurma, lalu dia berkata kepada
Al-Harits, “Makanlah kurma-kurma ini!” Al-Harits bertanya, “Beritahukan
kepadaku perihal kurma-kurma ini!” Dia menjawab, “Beberapa saat yang
lalu saya menjual kurma kepads seseorang, namun kemudian kurmanya
terjatuh.” Al-Harits berkata, “Apakah kamu mengetahuinya?” Dia
menjawab, “Ya.” Al-Harits kemudian menoleh kepada anak-anak yang sedang
bermain itu dan bertanya, “Apakah orang tua ini muslim?” mereka
menjawab, “Ya.” Al-Harits lalu pergi meninggalkannya, namun penjual
kurma itu mengejar sehingga berhasil menahannya, dan kemudian bertanya
kepadanya, “Demi Allah aku tidak akan melepasmu sehingga engkau katakan
kepadaku apa sebenarnya yang ada pada benakmu tentang diriku.”
Al-Harits kemudian berkata, “Wahai orang tua jika engkau adalah seorang
muslim, maka mintalah keikhlasan kepada pemilik kurma itu sehingga
engkau bisa lepas dari tanggung jawab, sebagaimana engkau meminta air
ketika engkau sangat kehausan. Wahai orang tua, engkau memberi makanan
kepada anak-anak muslim dari barang yang haram, sedangkan engkau
sendiri adalah seorang muslim?!” orang tua itu kemudian berkata, “ Demi
Allah, aku tidak akan lagi berjualan jika hanya untuk keuntungan
dunia!”
Demikian beberapa kisah dari para salafus shalih yang menunjukkan betapa pentingnya penanaman kecintaan kepada Allah
subhanahu wa ta’ala,
memohon pertolongan-Nya, merasa selalu diawasi oleh-Nya, serta beriman
kepada qadha’ dan qadar, sehingga mereka menjadi generasi terbaik bagi
umat ini. Semoga kita diberi kemudahan oleh Allah untuk menanamkan hal
tersebut bagi anak-anak kita. (Sumber: muslimah.or.id)