Minggu, 11 Agustus 2013

Mengatasi Anak yang Ngambek


Sebagai orang tua, apa yang akan kita lakukan???, bila tiba-tiba anak anda ngambek gara-gara ingin mendapatkan suatu barang yang diinginkannya tidak terpenuhi. Mungkin perasaan anda tidak enak karena pasti orang akan mengira anda tidak becus mengurus anak. Daripada ribut, akhirnya Anda pun mengalah, meluluskan permintaan si kecil.

Menurut psikolog anak, Dr. Seto Mulyadi, orangtua tak perlu malu bila anaknya tiba-tiba bertingkah tak menyenangkan di depan umum. Toh, orang lain pun tahu kalau ini bukan masalah orangtua, tapi masalah anak-anak. “Justru yang perlu diupayakan adalah menenangkan si anak agar tak lebih lama mengganggu ketenangan umum. Dengan tegas, angkatlah ia dan ajak pulang. Pengalaman saya, tatap mata anak dan ajak ia pulang. Jangan tatap anak dengan kesal atau memelototinya, ia akan tahu itu dan akan makin keras mengamuk,” terang Doktor Psikologi lulusan Program Pasca Sarjana UI ini. Kata Seto, lebih baik tatap mata si anak dengan penuh kasih. Ia akan mengerti, ibu atau ayahnya tetap menyayanginya dan permintaannya bisa dibicarakan di rumah.
JADI SENJATA
Yang jelas, wajar jika anak kecil gampang meledak atau ngambek. Terlebih anak usia di atas 2 tahun. Saat itu ia sudah dapat mengekspresikan kemarahan, kekecewaan, atau kecemasannya. “Untuk anak yang berusia di bawah 2 tahun, sangat gampang mengalihkannya. Misalnya saat ia ngambek, kita tunjukkan cicak di dinding. Atau tunjukkan ia gambar,” bilang Seto. Lain hal dengan anak usia 2 tahun di mana egonya mulai tumbuh. Ia ingin orang lain mengakui keberadaannya. Dengan cara diam, tak mau berpartisipasi atau berguling- guling, ia ingin orang lain mengerti akan kehadiran “aku”-nya yang baru. Ia pun sangat mementingkan diri sendiri. Apa yang diinginkannya harus dituruti segera dan saat itu juga.
Celakanya, jika perilaku tak baik ini tak ditanggulangi dengan baik, maka akan terus berkembang hingga dewasa. “Itu sebabnya ngambek harus diwaspadai sebagai cikal-bakal berbagai tingkah negatif setelah dewasa kelak. Bisa saja kalau keinginannya tak terpenuhi, lantas minggat dari rumah,” jelas Seto.
Apalagi, anak belajar dari lingkungan. Ia akan belajar bagaimana lingkungan meresponnya. Kalau ia ngambek lalu orangtuanya menuruti kehendaknya, maka ngambek akan dijadikan senjata untuk menarik perhatian “kekuasaan” atau orangtua. Dan tingkat ngambeknya juga akan terus meningkat. Beda jika ia ngambek, masalahnya dicoba dipecahkan. Alhasil, ia tak bisa menggunakan hal itu sebagai senjata. Dengan demikian, jika ia menginginkan sesuatu, ia tak akan ngambek, tapi mengacu pada sistem.
UNGKAPAN PROTES
Yang biasanya terjadi, anak ngambek untuk mengungkapkan protesnya atas kesewenangan orangtua. Terutama pada keluarga yang komunikasinya kurang efektif. Entah karena ayah-ibu yang terlalu sibuk sehingga perhatian pada si kecil sangat kurang, atau karena orangtua terlalu otoriter dan mau menang sendiri. Orangtua selalu memaksakan kehendaknya, sehingga tak pernah mendengar hati nurani anak. “Nah, anak akan merasa diperlakukan tak adil!” tukas Seto. Misalnya saja, pada saat anak minta mainan, orangtua langsung bilang, “Tidak! Mainan kamu sudah terlalu banyak!”
Padahal mungkin saja mainan yang banyak itu dibeli atas inisiatif orangtuanya yang saat membeli, suasana hatinya sedang senang, uang lagi banyak. Padahal, bisa saja si anak sebenarnya sedang tak butuh mainan. Nah, giliran ia memerlukan, justru orangtua berkata tidak. Anak pun merasa diperlakukan tak adil. Semuanya hanya dilihat dari sudut pandang orangtua, tak melalui suatu dialog yang demokratis. Akibatnya, anak frustrasi dan perasaan itu dilampiaskannya dengan cara ngambek.
METODE ANTI KALAH
Harus bagaimanakah kita bersikap? Yang jelas, kita mesti lebih membuka diri, sehingga anak dapat melampiaskan keinginan-keinginannya secara wajar. “Jadilah pendengar yang baik,” anjur Seto. Saat kumpul bersama keluarga, misalnya, ayah dan ibu harus mau mendengar dan menerima permintaan atau keluhan-keluhan anak. Jika anak minta dibelikan buku dan stiker, misalnya, tanyakan padanya, apakah itu sebuah kebutuhan atau keinginan. “Mana yang paling perlu? Buku atau stiker?” Anak pun akhirnya belajar, mana yang penting dan tidak. Kalaupun ia ingin protes, boleh-boleh saja sepanjang diwujudkan dalam bentuk kata-kata dan bukan tingkah laku ngambek atau membanting pintu.
Tak ada salahnya anak ikut tahu kondisi keuangan ayah dan ibunya sehingga ia tahu persis, orangtua belum bisa memenuhi keinginannya. “Jadi, semuanya harus melalui dialog atau komunikasi,” tandas Seto. Cara lain untuk mengendalikan anak ngambek, adalah metode “anti-kalah” atau musyawarah dalam keluarga. “Tak ada yang kalah atau menang.” Lagi-lagi, dengan cara membuka dialog. Misalnya, “Yuk, kita bicarakan hal ini di rumah. Apa yang kamu mau, akan kita bicarakan dulu. Kalau memang diputuskan untuk dibeli, kita bisa kembali lagi besok.” Alhasil, titik temu yang memuaskan kedua belah pihak pun didapat. “Anak juga sekaligus belajar bahwa ia tak akan berhasil memenuhi keinginannya dengan cara ngambek,” kata Seto.
TENANG DAN KONSISTEN
Seto mengakui, memang bukan pekerjaan mudah mengajak bicara anak kecil yang tengah ngadat. Ia akan melawan, bersikukuh, alias mau menang sendiri. “Makanya, hadapi ia dengan sikap tenang. Kalau kita tampak panik, malu, atau marah-marah, anak malah jadi tambah bertingkah. Tenang, senyum, dan perlihatkan kita tetap menghargainya.
Nah, biasanya ngambeknya akan sedikit lumer,” papar anggota Creative Education Foundation ini. Orangtua bisa berujar, “Ibu tahu kamu kecewa, sedih. Sekarang kita pulang dulu, yuk! Nanti kita bicarakan di rumah. Ibu mau dengar apa maumu.” Lewat ucapan seperti itu, anak tahu, kita mengerti akan kemarahan atau kekecewaannya dan kita bisa menerimanya sebagai sesuatu yang wajar. “Anak juga akan sadar, ia boleh marah tapi cara marahnya harus baik. Tidak dengan berguling-guling di depan umum. Dari situ ia akan merasa dihargai,” lanjut anggota World Council for Gifted & Talented Children ini. Di sisi lain, anak juga menjadi paham, ayah atau ibunya sudah berubah. Yang biasanya marah-marah, sekarang tak begitu lagi. “Tentunya orangtua harus konsisten dengan ucapannya. Tiba di rumah, ia harus mau mendengarkan keluhan-keluhan anak dan sama-sama mencari pemecahannya,” kata Seto.
BIKIN “PERJANJIAN”
Sikap pasif orangtua saat anaknya ngambek dengan cara membiarkan atau meninggalkan anak, tak terlalu disetujui pakar psikologi anak ini. “Ada kan, orangtua yang begitu. Anaknya dibiarkan dengan harapan kemarahan anak akan reda dengan sendirinya. Padahal, justru sikap seperti itu bisa membuat anak makin kecewa dan frustrasi. Bisa saja ngambeknya kemudian dialihkan di rumah karena masalah utamanya tak diselesaikan,” tutur anggota International Council of Psychologists ini. Padahal, tutur Seto lebih jauh, tak ada salahnya orangtua bersikap sedikit “merendah” dalam arti mau mendengarkan anak. Sebaliknya, orangtua pun harus berani mengungkapkan segala perasannya secara jujur. Kalau ingin marah, ya, kemukakan saja. Misalnya, “Ibu marah, lo, kalau kamu bersikap begini. Ibu kecewa.”
Jika anak tetap sajangambek, berarti masih ada kebutuhan yang tak terpenuhi. Bisa saja orangtua belum sadar tentang hak-hak anak. Hak untuk bermain, berpartisipasi, dan didengarkan oleh lingkungannya. “Tidak jadi robot terus!” tukas Seto. Jika ia tak mendapat hak-hak tadi, “Anak akan mengalami hambatan dalam tumbuh kembangnya,” tandas peraih penghargaan The Golden Baloon Award, New York ini.
Selain itu, Seto juga menyarankan agar para orangtua bisa mengantisipasi peristiwa-peristiwa yang rawan konflik. Misalnya, kalau kemungkinan ia akan ngadat saat diajak ke mal, persiapkan sebelumnya. “Mama mau ajak kamu ke mal, tapi janji, hanya boleh minta satu barang saja. Kamu nanti mau minta apa? Stiker atau boneka? Pilih salah satu, tidak boleh lebih dari itu.” Nah, karena si kecil dilibatkan dalam perencanaannya, ia pun biasanya akan menepati janji karena merasa dirinya dihargai. Bisa juga ditambahkan dalam “perjanjian” itu, apa sanksinya jika si kecil ingkar janji. Misalnya, pada kepergian berikut, ia tak boleh ikut lagi.
HUKUMAN DAN PUJIAN
Dengan menegakkan demokrasi di rumah, anak akan terhindar dari rasa frustrasi. Sebab itulah, sejak anak bisa diajak bicara, sebaiknya biasakan diajak bicara. Anak pun akan merasa dihargai. “Kalau ia biasa dihargai, dipercaya, dan egonya diakui, maka ia akan lebih percaya diri dan tidak mudah ngambek,” kata Seto. Perlukah hukuman diberlakukan dalam hal ini? “Bisa saja, tapi bukan dalam bentuk pukulan atau cubitan. Melainkan dalam bentuk tak dipenuhinya keinginan itu. Biasanya ibu senyum, kok, kali ini tidak dan mukanya datar. Itu saja bagi anak yang peka sudah berarti hukuman,” jelas Seto. Namun, jangan lupa pula memberinya pujian jika ia berkelakuan baik dan dapat menghilangkan sifat ngambeknya.
Sumber : tabloid-nakita.com

Jumat, 02 Agustus 2013

Santunan Yatim & Dhuafa SWI

Alhamdulillah hari ini Jum'at/02 Agustus 2013 Sekolah Wirausaha Indonesia (SWI) sukses menyelenggarakan Santunan Yatim & Dhuafa. Santunan dilakukan secara langsung "door to door" ke rumah-rumah anak yatim dan dhuafa yang dilakukan oleh Ketua Yayasan, Kepala SDIT Wirausaha Indonesia didampingi oleh tokoh masyarakat setempat. 

Ramadhan tahun ini SWI menyantuni sekitar 30 an anak yatim & dhuafa yang dananya diperoleh dari orang tua murid dalam bentuk zakat, infaq dan shodaqoh dan dari yayasan sendiri. Santunan dipusatkan di kampung sekitar sekolah, yaitu di kampung Pisang Batu, Kampung Poncol dan Kampung Walahir Desa Karang Raharja, Kecamatan Cikarang Utara, Kab. Bekasi.

Berikut beberapa foto kegiatan


Jumat, 26 Juli 2013

Pentingnya Kurikulum Berbasis Kewirausahaan

Oleh : Kuncoro*)


Kurikukulum pendidikan kerap kali berganti dan disesuaikan dengan perkembangan situasi dan kondisi yang berkembang saat ini. Perubahan kurikulum yang terlalu sering juga akan tidak baik terhadap dunia pendidikan dan perlu diingat bahwa anak didik bukanlah kelinci percobaan untuk implementasi kurikulum baru.
Perubahan kurikulum yang terpenting adalah bagaimana memasukan atau mengembangkan mata pelajaran yang dapat menumbuhkan jiwa kewirausahaan bagi anak didiknya. Mengapa jiwa kewirausahaan menjadi penting? Hal itu disebabkan karena saat ini banyaknya lulusan yang bermental pencari kerja sementara lapangan pekerjaan tidak sebanding dengan pertumbuhan lulusan dunia pendidikan yang akhir menambah angka pengangguran.
Mencari lapangan pekerjaan hanyalah salah satu jalan untuk bisa memperoleh pekerjaan namun bukan satu-satunya cara untuk memperoleh penghasilan, sementara berwirausaha adalah pilihan tepat manakala lapangan pekerjaan tidak dapat menyerap para lulusan dunia pendidikan secara keseluruhan.
Seringkali orang tua bertanya pada anaknya :”Nak, cita-cita kamu nanti kalau sudah besar mau jadi apa?, anaknya pasti akan menjawab salah satu profesi yang terlihat mapan oleh pandangan si anak seperti mau jadi PNS, mau jadi Tentara, mau jadi Dokter atau mau Pengacara. Pertanyaan tersebut hanya akan menumbuhkan mental pencari kerja bagi putra-putri  kita, bahwa saya akan mencari pekerjaan setelah menyelesaikan  pendidikannya nanti.
Saat ini mungkin pertanyaan itu harus sudah diubah “Nak, nanti kalau kamu sudah besar apa yang bisa kamu ciptakan? Pertanyaan tersebut tentunya akan membuat anak berpikir bahwa bagaimana dia menciptakan sesuatu yang dapat bermanfaat untuk dirinya dan orang lain, serta si anak  akan berfikir kreatif dan inovatif dalam melihat peluangan dan tantangan yang ada. Melalui pertanyaan tersebut diharapkan si Anak dapat menumbuhkan jiwa kewirausahaan dan menciptakan sebuah lapangan pekerjaan.
Dengan tumbuhnya jiwa Inovasi dan kreatifitas pada anak-anak bangsa,  hal ini menciptakan jiwa wirausahawan, serta akan dapat mendorong dan memberikan perubahan terhadap kemajuan suatu negara. Wirausahawan adalah seorang yang menciptakan sebuah bisnis yang berhadapan dengan resiko dan ketidakpastian bertujuan memperoleh profit dan mengalami pertumbuhan dengan cara mengidentifikasi kesempatan dan memanfaatkan sumber daya yang diperlukan.
Saat ini pertumbuhan ekonomi Indonesia tumbuh cukup baik  sebesar 6,3% dan menjadi nomor 2 di dunia setelah Tiongkok  yang memiliki perrtumbuhan ekonomi 7,7% . Indonesia memiliki sumber daya alam yang cukup berlimpah, artinya semua itu adalah kesempatan untuk berwirausaha bagi setiap orang yang jeli melihat peluang bisnis.
Menjadi wirausahawan akan mendukung kesejahteraan rakyat serta memberikan banyak pilihan barang dan jasa bagi konsumen, baik dalam maupun luar negeri. Meskipun perusahaan raksasa lebih menarik perhatian publik dan sering kali menghiasi berita utama, bisnis kecil tidak kalah penting perannya bagi kehidupan sosial dan pertumbuhan ekonomi suatu negara.
Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang masih memiliki potensi yang cukup besar dalam membangun wirausahawan-wirausahawan baru namun  pada kenyataannya mungkin saat ini masih Indonesia masih  kekurangan wirausahawan.
Hal tersebut mungkin karena belum dikembangkannya kurikulum pendidikan yang menunjang dalam membangun kewirausahaan. Kurikulum pendidikan masih banyak didominasi oleh kurikulum pendidikan yang konvensional.
Karenanya, kurikulum pendidikan yang berbasis kewirausahaan sudah selayaknya dikembangkan kedalam kurikulum pendidikan di Indonesia mulai pendidikan dasar. Hal ini dimaksudkan agar menumbuhkan jiwa kewirausahaan pada putra-putri bangsa sejak dini yang pada akhirnya dapat menumbuhkan jiwa kewirusahaan akan menjadi bekal bagi anak-anak negeri manakala tidak tersedianya lapangan pekerjaan untuk mereka.

*) Kasubid Penanggulangan Kemiskinan Setkab

Jumat, 21 Juni 2013

Bagaimana Memahami Karakter Anak?

Pernahkah Anda melihat ada batita sedang mengaduk-aduk tanah menggunakan sekop sambil memetiki tanaman cabai, hingga membuat badan dan pakaiannya belepotan tanah? Bagaimana pendapat Anda? Nakalkah anak tersebut?
Kejadian itu saya alami sendiri. Beberapa bulan yang lalu saat usianya masih 2 tahun, saya memergokinya sedang memetiki daun cabai di halaman lalu memasukkannya ke dalam tanah yang sudah digali memakai sekop mainan. Badan dan bajunya belepotan tanah. Untungnya saat itu belum memasuki musim hujan, jadi kotorannya tidak menempel kuat.
Demi melihat tanah berhamburan di halaman dan pohon cabai yang nyaris gundul tanpa daun, saya hampir saja mau memarahinya. Tapi syukurlah masih bisa ditahan. Pelan-pelan saya tanya apa yang sedang dilakukannya? Dan jawaban ini meluncur dari mulutnya:
“Gaza lagi tanam cabai, Bun. Kan waktu itu Gaza petikin cabai Bunda. Kata Bunda nanti cabainya habis. Terus Gaza petik aja daunnya, tanam deh di situ. Jadi nanti cabai Bunda banyak, enggak habis-habis lagi.” ujarnya dengan penuh percaya diri.
Saya sebetulnya pengin bilang, “Apanya yang tumbuh kalau yang ditanam daunnya?” Tapi niat itu segera saya urungkan. Bukankah kita harus menghargai apa yang dilakukan oleh anak? Apalagi maksud Gaza baik, meski caranya kurang tepat. Jadi saya cuma bilang, “Ya Gaza hebat. Nah anak hebat sekarang masuk dulu ya, mandi dan ganti baju.”. Gaza pun menyimpan sekopnya lalu mandi. Beres, tidak ada pertengkaran sama sekali. Mungkin lain ceritanya jika tadi saya memarahinya sebelum sempat mendengar penjelasannya.
Di lain waktu, begini lah polah Gaza. Selepas kami berdua shalat Maghrib, dia menarik saya ke tempat tidur dan bilang bahwa dia mau cerita. “Cerita apa?” tanya saya. Dan cerita itu pun mengalunlah dari mulut mungilnya:
“Bun, suatu hari ada anak kucing namanya Mio. Anak kucingnya nakal engga mau makan.”
“Kenapa?” tanya saya
“Karena males dan ngantuk. Terus dia pergi ke sekolah. Eh di sekolahnya dia ngantuk. Sama bu guru ditanya ini gambar apa? Engga tau. Ini warna apa? Engga tau. Terus sama bu guru ditanya, Mio kamu kenapa engga tau aja? Karena saya engga makan bu guru. Ya udah kamu pulang aja! Bu gurunya marah.”
“Terus habis itu gimana?” kembali saya bertanya
“Mio pulang. Eh di jalan ada kakek bawa karung, Mio diculik dimasukin karung. Terus Mio berdoa Ya Allah tolong selamatkan aku.”
“Sama Allah ditolong ngga?” tanya saya yang mulai larut dalam ceritanya.
“Iya doanya dikabulkan Allah. Mio selamat deh! Terus Mio pulang ke rumah. Disuruh makan sama bundanya.”
“Mau makan?”
“Mau, Mio makan nyam nyam.. Habis itu Mio pergi lagi, ketemu penculik lagi.”
“Diculik lagi dong?” saya kaget dengan kelanjutan cerita ini. Saya pikir cerita tamat setelah si Mio makan.
“Engga lah, kan Mio udah makan. Jadi badannya berat, ga kuat penculiknya masukin karung. Mio selamat deh.”
Demikianlah cerita Gaza. Sebetulnya sudah cukup sering dia bercerita tentang kisah binatang, tapi itu adalah cerita pertamanya yang selesai sampai akhir.

Perpaduan Kecerdasan Linguistik-Natural-Kinestetik
Tiga tahun full saya mendampingi Gaza. Dia tidak memiliki pengasuh dan belum saya sekolahkan di PAUD/Play Group seperti kebanyakan temannya yang lain. Alasannya simpel saja, karena saya tidak bekerja di kantor jadi saya masih sanggup mengajarinya. Lagipula ia masih terlalu kecil, khawatir nantinya malah cepat bosan. Karena itulah nyaris 24 jam aktifitasnya selalu terpantau oleh saya. Dari hasil pantauan itu, inilah yang saya peroleh: Besar dugaan saya bahwa dia menonjol dalam 3 bidang kecerdasan yaitu Linguistik, Natural dan Kinestetik (Mengacu pada Multiple Intelligences-nya Howard Gardner).
Perkembangan bahasanya meningkat pesat sejak ia berusia 17-18 bulan. Sebelumnya kami masih sering bingung dengan ocehannya. Tapi setelah melalui usia tersebut, mulut Gaza bagaikan mesin pelontar peluru yang nyaris tak pernah berhenti bertanya dan bercerita.
Kecerdasan Natural-nya bisa dilihat dari minatnya yang demikian besar terhadap alam sekitar. Gaza senang sekali mengamati ulat, kupu-kupu, kelinci, sampai kambing. Ia bahkan hobi keluar di malam hari sambil membawa senter cuma agar bisa melihat kodok, jangkrik dan binatang malam lainnya. Tidak hanya melihat langsung, Gaza juga senang menonton tayangan tentang binatang di tivi dan video. Hal ini saya manfaatkan betul. Jadi setiap ia menonton tayangan binatang, saya usahakan untuk selalu mendampingi dan menjelaskan kepadanya (terutama kalau tayangannya dalam bahasa Inggris). Awalnya saya pikir ia tidak menyimak penjelasan saya, karena fokus sekali pada tontonannya. Namun betapa saya terkejut ketika suatu hari dia mampu memprotes ayah saya yang mengatakan bahwa semut membawa dedaunan kering dan ranting pohon itu untuk berantem. Eh dengan tegas dia bilang bahwa itu dilakukan semut untuk membuat sarang, seperti penjelasan saya berdasarkan narasi di fil dokumenter tersebut.
Sementara kecerdasan kinestetik saya lihat dari tubuhnya yang selalu bergerak. Mulai dari berlari, melompat, berjalan di atas kayu, dan belajar sepeda roda empat hanya dalam waktu empat puluh menit sejak sepeda itu tiba di rumah. Dari yang awalnya naik pun harus dibantu, dalam waktu kurang dari satu jam Gaza sudah lancar naik-turun sendiri dan mengayuh sepedanya dengan relatif cepat tanpa menabrak. Padahal bahkan menurut saya, itu bukan hal yang mudah. Gaza melakukannya di ruang tamu kami yang mungil. Otomatis setiap beberapa meter ia harus berbelok atau memutar. Tapi Gaza melakukannya seperti yang sudah berlatih selama berhari-hari.

Menghadapi Anak Berdasarkan Bidang Kecerdasannya
Sebagai orangtua tentu saya sangat bersyukur melihat perkembangannya. Meski menghadapi anak tipe ini juga tak selalu mudah. Saya dan suami harus sangat berhati-hati dalam berbicara kepadanya, sebab dia ahli sekali membolak-balikkan kalimat. Seperti saat saya menyuruhnya tidur siang, malah diskusi seperti inilah yang terjadi di antara kami
Gaza: Kenapa sih Gaza harus tidur siang, Bun?
Saya: Biar segar, gak lemas
Gaza: Kemarin Bunda bilang biar pintar?
Saya: Iya biar pintar juga. Tidur siang itu manfaatnya banyak. Biar pintar, gak lemas, gak gampang capek.
Gaza: Manfaat itu apa sih?
Saya: Manfaat itu…gini, kalau tidur siang MANFAATNYA biar pintar. Kalau mandi MANFAATNYA biar segar dan gak bau. Kalau makan MANFAATNYA biar sehat.
Gaza: Oh, kalau habis main harus diberesin, MANFAATNYA biar gak berantakan dan Bunda gak marah, gitu?
Saya: Ah, iya betul! Anak pintar!
Gaza (turun dari kasur)
Saya: Mau kemana?
Gaza: Beresin mobilan
Gaza pun batal tidur siang.

Atau di lain waktu saat dia sedang asyik bermain netbook dan saya menyuruhnya berhenti, dengan santai dia akan bilang, “Duh jangan ganggu dong. Ini Gaza lagi kerja. Kalau nggak kerja nanti nggak punya uang untuk beli mainan.” dengan nada yang persis sama dengan saya.
Saya juga harus menjaga stamina agar tetap kuat, untuk membiasakan diri mengejar-ngejarnya saat bermain. Mencoba menyamakan kecepatan berlari dengannya, tangkas menangkapnya saat ia meluncur melewati perosotannya atau bahkan berdiri dengan satu kaki saat ia menggunakan sebelah kaki saya sebagai tumpuan untuk memanjat lemari. Saya dan suami juga mengupayakan untuk sering-sering melibatkannya dalam kegiatan alam. Salah satu rekreasi favoritnya adalah memberi makan rusa di pagar Istana Bogor.
Beberapa kali ada yang bertanya pada saya, “Kok Gaza pinter banget ya? Dikasih makan apa?”
Setelah bersyukur, jawaban saya biasanya simpel, “Makan tahu, tempe, sayur, buah, susu ya semua lah yang bergizi. Yang penting sih menghindari pengawet dan penyedap (MSG).”
Kadang ada yang tak percaya, dikiranya saya memberi Gaza asupan berbagai macam suplemen. Tidak, sejauh ini suplemen hanya saya berikan hanya jika nafsu makan Gaza sedang turun. Jika sudah kembali normal, asupan suplemen saya hentikan.

Mendukung Anak dan Menghindari Pemaksaan
Menurut saya kecerdasan Gaza berasal dari Minatnya yang dikembangkan secara optimal. Saya melihat bahwa dia menyukai kegiatan outdoor terutama yang berkaitan dengan alam, maka saya optimalkan dengan pemberian stimulasi dalam hal tersebut. Perilakunya yang tak bisa diam, tidak saya marahi sambil menyuruhnya diam. Tapi saya persepsi bahwa itu adalah minatnya yang lain. Maka saya mengarahkannya dengan memberinya sepeda, mobil-mobilan yang bisa dinaiki, motor-motoran dan mainan lainnya agar gerakannya lebih terkontrol. Untuk menstimulasi motorik halus sekaligus konsentrasinya, saya memberinya krayon, lego dan puzzle. Sementara untuk mendukung kemampuan bicaranya, saya sediakan banyak buku cerita dari yang biasa sampai yang elektronik.
Selain mendukung kecerdasan dengan mengoptimalkan stimulasi di bidang yang diminatinya, saya juga tidak memaksakan ia mempelajari hal yang tidak disukai atau tidak dikuasainya. Misalnya saja menyanyi. Untuk yang satu ini (saat ini) saya sangat yakin kalau Gaza bukan penyanyi yang baik. Disaat teman-teman seusianya sudah bisa menyanyikan beberapa lagu anak-anak dengan nada dan lirik yang tepat, Gaza belum. Oke mungkin liriknya benar, tapi nadanya salah total. Atau seringkali nadanya pun dia ubah seenaknya, entah karena lupa atau kreatif. Padahal bukan tak pernah saya mengajarinya bernanyi. Sejak ia masih bayi, saya sering bernyanyi untuk menimbulkan suasana semangat. Tapi ya itu, mungkin Gaza memang kurang berminat pada menanyi, atau bisa jadi karena kecerdasan musikalnya tergolong rendah.

Membentuk Seorang Pakar Sejak Dini
Memahami karakter anak agar bisa mencari cara yang pas untuk menstimulasi kecerdasannya menurut saya penting dilakukan oleh semua ibu. Saya suka miris kalau mendengar masih saja ada ibu yang memaksakan anaknya untuk kursus matematika atau bahasa asing karena nilainya kurang bagus, sementara melarang sang anak belajar musik atau beladiri seperti minatnya, hanya karena berpikir kalau musik dan beladiri itu tidak bisa ‘berdiri tunggal’ untuk menopang masa depannya kelak. Padahal yang saya tahu di negara-negara maju, jika ada anak yang berbakat menari balet, maka biasanya sang orangtua akan menyekolahkan anaknya di sekolah balet, sementara pendidikan akademis akan ditempuhnya setelah ia menjalani sekolah balet atau bahkan sekalian saja homeschooling. Itulah salah satu alasan penting kenapa negara maju banyak menghasilkan profesional/pakar di berbagai bidang, sementara negara berkembang lebih banyak menghasilkan tenaga kerja. Itu karena sejak kecil mereka menggeluti bidang yang diminati serta fokus di situ. Pikirannya tidak terbagi-bagi pada banyaknya mata pelajaran di sekolah plus pekerjaan rumah yang acapkali dibebankan oleh guru seperti yang banyak terjadi di sekolah-sekolah umum di Indonesia. Ini membuat anak hanya mampu menghafal (lalu kemudian melupakannya) dan mengetahui setiap ilmu hanya sampai permukaan.
Beruntungnya saya dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang mendukung potensi anak. Kedua orangtua saya membebaskan anak-anaknya untuk memilih bidang yang disukai, meski itu dinilai minus oleh orang lain. Contohnya ketika saya memilih bidang studi IPS di SMA. Orangtua saya tutup kuping terhadap omongan miring teman dan kerabat bahwa bidang tersebut tak memiliki masa depan. Ini karena mereka tahu apa tujuan saya kelak. Dan mereka sangat tahu bahwa saya bisa terkena psikosomatis setiap kali melihat laboratorium biologi beserta isinya.
Dengan demikian, mengoptimalkan kecerdasan anak sejak dini tidak terlalu sulit bukan? Meski bukan pula hal yang mudah karena memerlukan pengamatan sepanjang waktu. Apalagi di usia balita, anak seringkali terkena jenuh atau malas. Di sinilah kesabaran serta kreativitas orangtua diuji. Salah satu kunci yang saya yakini adalah jika anak bahagia dalam beraktifitas, maka ia bisa menjadi cerdas dari aktifitas yang dilakukannya.

By: Prita Khalida

Rabu, 29 Mei 2013

Gedung Sekolah Wirausaha Indonesia dari Masa ke Masa

Gedung Sementara Sekolah Wirausaha Indonesia di Perumahan Grand Cikarang City Blok F1R No.33


Gedung Sementara Sekolah Wirausaha Indonesia, Jl. Nakula Raya No.1-4 Perum. Grand Cikarang City Blok C-09

Rencana Gedung Baru Sekolah Wirausaha Indonesia, Jl. Nakula Raya No.1-4 Perum. Grand Cikarang City Blok C-09


Senin, 18 Maret 2013

Prestasi Siswa




Muhammad Wildan Arafat, Juara 1 Lomba Jarimatika
se-Kabupaten Bekasi untuk Tingkat Sekolah Dasar


Alhamdulillah kami panjatkan atas anugerah yang luar biasa ini. Atas izin Alloh subhanahu wa ta’ala siswa kami berhasil menyabet Juara 1 Lomba Jarimatika se-Kabupaten Bekasi untuk Tingkat Sekolah Dasar. Lomba yang diikuti oleh lebih dari 600 siswa dari berbagai sekolah dasar ini diselenggarakan pada hari Ahad tanggal, 03 Maret 2013 di Mall Sentra Grosir Cikarang – Bekasi.

Prestasi ini tidak kami sangka-sangka sama sekali. Hal ini dikarenakan kami tidak mentargetkan kepada siswa-siswa kami yang menjadi peserta lomba untuk memenangi lomba. Kami menyadari bahwa sekolah kami masih sangat baru dan belum siap untuk mengikuti berbagai even lomba.

Tentu saja prestasi ini bukan segala-galanya yang bisa membuat lupa diri. Prestasi ini insya Alloh akan menjadi wasilah bagi prestasi-prestasi berikutnya. Amiin.