Pernahkah Anda melihat ada batita sedang mengaduk-aduk tanah menggunakan sekop sambil memetiki tanaman cabai, hingga membuat badan dan pakaiannya belepotan tanah? Bagaimana pendapat Anda? Nakalkah anak tersebut?
Kejadian itu saya alami sendiri. Beberapa bulan yang lalu saat usianya masih 2 tahun, saya memergokinya sedang memetiki daun cabai di halaman lalu memasukkannya ke dalam tanah yang sudah digali memakai sekop mainan. Badan dan bajunya belepotan tanah. Untungnya saat itu belum memasuki musim hujan, jadi kotorannya tidak menempel kuat.
Demi melihat tanah berhamburan di halaman dan pohon cabai yang nyaris gundul tanpa daun, saya hampir saja mau memarahinya. Tapi syukurlah masih bisa ditahan. Pelan-pelan saya tanya apa yang sedang dilakukannya? Dan jawaban ini meluncur dari mulutnya:
“Gaza lagi tanam cabai, Bun. Kan waktu itu Gaza petikin cabai Bunda. Kata Bunda nanti cabainya habis. Terus Gaza petik aja daunnya, tanam deh di situ. Jadi nanti cabai Bunda banyak, enggak habis-habis lagi.” ujarnya dengan penuh percaya diri.
Saya sebetulnya pengin bilang, “Apanya yang tumbuh kalau yang ditanam daunnya?” Tapi niat itu segera saya urungkan. Bukankah kita harus menghargai apa yang dilakukan oleh anak? Apalagi maksud Gaza baik, meski caranya kurang tepat. Jadi saya cuma bilang, “Ya Gaza hebat. Nah anak hebat sekarang masuk dulu ya, mandi dan ganti baju.”. Gaza pun menyimpan sekopnya lalu mandi. Beres, tidak ada pertengkaran sama sekali. Mungkin lain ceritanya jika tadi saya memarahinya sebelum sempat mendengar penjelasannya.
Di lain waktu, begini lah polah Gaza. Selepas kami berdua shalat Maghrib, dia menarik saya ke tempat tidur dan bilang bahwa dia mau cerita. “Cerita apa?” tanya saya. Dan cerita itu pun mengalunlah dari mulut mungilnya:
“Bun, suatu hari ada anak kucing namanya Mio. Anak kucingnya nakal engga mau makan.”
“Kenapa?” tanya saya
“Karena males dan ngantuk. Terus dia pergi ke sekolah. Eh di sekolahnya dia ngantuk. Sama bu guru ditanya ini gambar apa? Engga tau. Ini warna apa? Engga tau. Terus sama bu guru ditanya, Mio kamu kenapa engga tau aja? Karena saya engga makan bu guru. Ya udah kamu pulang aja! Bu gurunya marah.”
“Terus habis itu gimana?” kembali saya bertanya
“Mio pulang. Eh di jalan ada kakek bawa karung, Mio diculik dimasukin karung. Terus Mio berdoa Ya Allah tolong selamatkan aku.”
“Sama Allah ditolong ngga?” tanya saya yang mulai larut dalam ceritanya.
“Iya doanya dikabulkan Allah. Mio selamat deh! Terus Mio pulang ke rumah. Disuruh makan sama bundanya.”
“Mau makan?”
“Mau, Mio makan nyam nyam.. Habis itu Mio pergi lagi, ketemu penculik lagi.”
“Diculik lagi dong?” saya kaget dengan kelanjutan cerita ini. Saya pikir cerita tamat setelah si Mio makan.
“Engga lah, kan Mio udah makan. Jadi badannya berat, ga kuat penculiknya masukin karung. Mio selamat deh.”
Demikianlah cerita Gaza. Sebetulnya sudah cukup sering dia bercerita tentang kisah binatang, tapi itu adalah cerita pertamanya yang selesai sampai akhir.
Perpaduan Kecerdasan Linguistik-Natural-Kinestetik
Tiga tahun full saya mendampingi Gaza. Dia tidak memiliki pengasuh dan belum saya sekolahkan di PAUD/Play Group seperti kebanyakan temannya yang lain. Alasannya simpel saja, karena saya tidak bekerja di kantor jadi saya masih sanggup mengajarinya. Lagipula ia masih terlalu kecil, khawatir nantinya malah cepat bosan. Karena itulah nyaris 24 jam aktifitasnya selalu terpantau oleh saya. Dari hasil pantauan itu, inilah yang saya peroleh: Besar dugaan saya bahwa dia menonjol dalam 3 bidang kecerdasan yaitu Linguistik, Natural dan Kinestetik (Mengacu pada Multiple Intelligences-nya Howard Gardner).
Perkembangan bahasanya meningkat pesat sejak ia berusia 17-18 bulan. Sebelumnya kami masih sering bingung dengan ocehannya. Tapi setelah melalui usia tersebut, mulut Gaza bagaikan mesin pelontar peluru yang nyaris tak pernah berhenti bertanya dan bercerita.
Kecerdasan Natural-nya bisa dilihat dari minatnya yang demikian besar terhadap alam sekitar. Gaza senang sekali mengamati ulat, kupu-kupu, kelinci, sampai kambing. Ia bahkan hobi keluar di malam hari sambil membawa senter cuma agar bisa melihat kodok, jangkrik dan binatang malam lainnya. Tidak hanya melihat langsung, Gaza juga senang menonton tayangan tentang binatang di tivi dan video. Hal ini saya manfaatkan betul. Jadi setiap ia menonton tayangan binatang, saya usahakan untuk selalu mendampingi dan menjelaskan kepadanya (terutama kalau tayangannya dalam bahasa Inggris). Awalnya saya pikir ia tidak menyimak penjelasan saya, karena fokus sekali pada tontonannya. Namun betapa saya terkejut ketika suatu hari dia mampu memprotes ayah saya yang mengatakan bahwa semut membawa dedaunan kering dan ranting pohon itu untuk berantem. Eh dengan tegas dia bilang bahwa itu dilakukan semut untuk membuat sarang, seperti penjelasan saya berdasarkan narasi di fil dokumenter tersebut.
Sementara kecerdasan kinestetik saya lihat dari tubuhnya yang selalu bergerak. Mulai dari berlari, melompat, berjalan di atas kayu, dan belajar sepeda roda empat hanya dalam waktu empat puluh menit sejak sepeda itu tiba di rumah. Dari yang awalnya naik pun harus dibantu, dalam waktu kurang dari satu jam Gaza sudah lancar naik-turun sendiri dan mengayuh sepedanya dengan relatif cepat tanpa menabrak. Padahal bahkan menurut saya, itu bukan hal yang mudah. Gaza melakukannya di ruang tamu kami yang mungil. Otomatis setiap beberapa meter ia harus berbelok atau memutar. Tapi Gaza melakukannya seperti yang sudah berlatih selama berhari-hari.
Menghadapi Anak Berdasarkan Bidang Kecerdasannya
Sebagai orangtua tentu saya sangat bersyukur melihat perkembangannya. Meski menghadapi anak tipe ini juga tak selalu mudah. Saya dan suami harus sangat berhati-hati dalam berbicara kepadanya, sebab dia ahli sekali membolak-balikkan kalimat. Seperti saat saya menyuruhnya tidur siang, malah diskusi seperti inilah yang terjadi di antara kami
Gaza: Kenapa sih Gaza harus tidur siang, Bun?
Saya: Biar segar, gak lemas
Gaza: Kemarin Bunda bilang biar pintar?
Saya: Iya biar pintar juga. Tidur siang itu manfaatnya banyak. Biar pintar, gak lemas, gak gampang capek.
Gaza: Manfaat itu apa sih?
Saya: Manfaat itu…gini, kalau tidur siang MANFAATNYA biar pintar. Kalau mandi MANFAATNYA biar segar dan gak bau. Kalau makan MANFAATNYA biar sehat.
Gaza: Oh, kalau habis main harus diberesin, MANFAATNYA biar gak berantakan dan Bunda gak marah, gitu?
Saya: Ah, iya betul! Anak pintar!
Gaza (turun dari kasur)
Saya: Mau kemana?
Gaza: Beresin mobilan
Gaza pun batal tidur siang.
Atau di lain waktu saat dia sedang asyik bermain netbook dan saya menyuruhnya berhenti, dengan santai dia akan bilang, “Duh jangan ganggu dong. Ini Gaza lagi kerja. Kalau nggak kerja nanti nggak punya uang untuk beli mainan.” dengan nada yang persis sama dengan saya.
Saya juga harus menjaga stamina agar tetap kuat, untuk membiasakan diri mengejar-ngejarnya saat bermain. Mencoba menyamakan kecepatan berlari dengannya, tangkas menangkapnya saat ia meluncur melewati perosotannya atau bahkan berdiri dengan satu kaki saat ia menggunakan sebelah kaki saya sebagai tumpuan untuk memanjat lemari. Saya dan suami juga mengupayakan untuk sering-sering melibatkannya dalam kegiatan alam. Salah satu rekreasi favoritnya adalah memberi makan rusa di pagar Istana Bogor.
Beberapa kali ada yang bertanya pada saya, “Kok Gaza pinter banget ya? Dikasih makan apa?”
Setelah bersyukur, jawaban saya biasanya simpel, “Makan tahu, tempe, sayur, buah, susu ya semua lah yang bergizi. Yang penting sih menghindari pengawet dan penyedap (MSG).”
Kadang ada yang tak percaya, dikiranya saya memberi Gaza asupan berbagai macam suplemen. Tidak, sejauh ini suplemen hanya saya berikan hanya jika nafsu makan Gaza sedang turun. Jika sudah kembali normal, asupan suplemen saya hentikan.
Mendukung Anak dan Menghindari Pemaksaan
Menurut saya kecerdasan Gaza berasal dari Minatnya yang dikembangkan secara optimal. Saya melihat bahwa dia menyukai kegiatan outdoor terutama yang berkaitan dengan alam, maka saya optimalkan dengan pemberian stimulasi dalam hal tersebut. Perilakunya yang tak bisa diam, tidak saya marahi sambil menyuruhnya diam. Tapi saya persepsi bahwa itu adalah minatnya yang lain. Maka saya mengarahkannya dengan memberinya sepeda, mobil-mobilan yang bisa dinaiki, motor-motoran dan mainan lainnya agar gerakannya lebih terkontrol. Untuk menstimulasi motorik halus sekaligus konsentrasinya, saya memberinya krayon, lego dan puzzle. Sementara untuk mendukung kemampuan bicaranya, saya sediakan banyak buku cerita dari yang biasa sampai yang elektronik.
Selain mendukung kecerdasan dengan mengoptimalkan stimulasi di bidang yang diminatinya, saya juga tidak memaksakan ia mempelajari hal yang tidak disukai atau tidak dikuasainya. Misalnya saja menyanyi. Untuk yang satu ini (saat ini) saya sangat yakin kalau Gaza bukan penyanyi yang baik. Disaat teman-teman seusianya sudah bisa menyanyikan beberapa lagu anak-anak dengan nada dan lirik yang tepat, Gaza belum. Oke mungkin liriknya benar, tapi nadanya salah total. Atau seringkali nadanya pun dia ubah seenaknya, entah karena lupa atau kreatif. Padahal bukan tak pernah saya mengajarinya bernanyi. Sejak ia masih bayi, saya sering bernyanyi untuk menimbulkan suasana semangat. Tapi ya itu, mungkin Gaza memang kurang berminat pada menanyi, atau bisa jadi karena kecerdasan musikalnya tergolong rendah.
Membentuk Seorang Pakar Sejak Dini
Memahami karakter anak agar bisa mencari cara yang pas untuk menstimulasi kecerdasannya menurut saya penting dilakukan oleh semua ibu. Saya suka miris kalau mendengar masih saja ada ibu yang memaksakan anaknya untuk kursus matematika atau bahasa asing karena nilainya kurang bagus, sementara melarang sang anak belajar musik atau beladiri seperti minatnya, hanya karena berpikir kalau musik dan beladiri itu tidak bisa ‘berdiri tunggal’ untuk menopang masa depannya kelak. Padahal yang saya tahu di negara-negara maju, jika ada anak yang berbakat menari balet, maka biasanya sang orangtua akan menyekolahkan anaknya di sekolah balet, sementara pendidikan akademis akan ditempuhnya setelah ia menjalani sekolah balet atau bahkan sekalian saja homeschooling. Itulah salah satu alasan penting kenapa negara maju banyak menghasilkan profesional/pakar di berbagai bidang, sementara negara berkembang lebih banyak menghasilkan tenaga kerja. Itu karena sejak kecil mereka menggeluti bidang yang diminati serta fokus di situ. Pikirannya tidak terbagi-bagi pada banyaknya mata pelajaran di sekolah plus pekerjaan rumah yang acapkali dibebankan oleh guru seperti yang banyak terjadi di sekolah-sekolah umum di Indonesia. Ini membuat anak hanya mampu menghafal (lalu kemudian melupakannya) dan mengetahui setiap ilmu hanya sampai permukaan.
Beruntungnya saya dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang mendukung potensi anak. Kedua orangtua saya membebaskan anak-anaknya untuk memilih bidang yang disukai, meski itu dinilai minus oleh orang lain. Contohnya ketika saya memilih bidang studi IPS di SMA. Orangtua saya tutup kuping terhadap omongan miring teman dan kerabat bahwa bidang tersebut tak memiliki masa depan. Ini karena mereka tahu apa tujuan saya kelak. Dan mereka sangat tahu bahwa saya bisa terkena psikosomatis setiap kali melihat laboratorium biologi beserta isinya.
Dengan demikian, mengoptimalkan kecerdasan anak sejak dini tidak terlalu sulit bukan? Meski bukan pula hal yang mudah karena memerlukan pengamatan sepanjang waktu. Apalagi di usia balita, anak seringkali terkena jenuh atau malas. Di sinilah kesabaran serta kreativitas orangtua diuji. Salah satu kunci yang saya yakini adalah jika anak bahagia dalam beraktifitas, maka ia bisa menjadi cerdas dari aktifitas yang dilakukannya.
By: Prita Khalida
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan posting komentar Anda, insya Allah berguna...