Salah satu pilar penting bagaimana kita melakukan pembinaan akidah pada anak-anak kita adalah, dengan menanamkan kecintaan kepada Allah subhanahu wa ta’ala, memohon pertolongan-Nya, merasa selalu diawasi oleh-Nya, serta beriman kepada qadha’ dan qadar. Karena
hal-hal tersebut merupakan bekal bagi anak untuk menghadapi segala
persoalan hidupnya, baik dimasa kanak-kanaknya maupun dimasa depannya
sebagai ayah dan ibu.
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu’anhu bahwa Nabi shalallahu’alaihi wassalam bersabda, “Janganlah kamu mengangkat tongkat terhadap keluargamu, namun tanamkan rasa takut kepada Allah ‘Azza wa Jalla pada diri mereka.” (HR Thabrani dalam As-Shaghir dan Al-Ausath dengan isnad jayyid).
Imam Tirmidzi meriwayatkan hadits dari Ibnu ‘Abbas rhadliyallahu’anhu, bahwa dia berkata: Pada suatu hari saya pernah membonceng di belakang Rasulullah shalallahu’alaihi wassalam, lalu beliau bersabda, “Wahai anak muda sesungguhnya aku akan mengajarkan kepadamu beberapa kalimat. Jagalah Allah niscaya Dia juga akan menjagamu. Jagalah Allah niscaya engkau akan mendapati-Nya ada dihadapanmu. Apabila engkau meminta sesuatu mintalah kepada Allah. Jika engkau memohon pertolongan mohonlah kepada Allah. Ketahuilah andaikan saja umat seluruhnya berkumpul untuk memberikan kemanfaatan kepadamu, mereka tidak akan bisa memberikan manfaat kepadamu kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tetapkan untukmu. Dan andaikan saja mereka bersatu untuk menimpakan kemudharatan terhadapmu, mereka tidak akan bisa memberikan kemudharatan itu terhadapmu kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tetapkan atasmu. Pena telah diangkat dan lembar catatan telah kering.”
Dalam riwayat lainnya disebutkan, “Jagalah Allah, niscaya engkau temukan Dia ada dihadapanmu. Kenalilah Allah dalam keadaan longgar niscaya Dia akan mengenalmu dalam keadaan sempit. Ketahuilah bahwa segala sesuatu yang luput darimu tidak akan menimpamu dan sesuatu yang menimpamu tidak akan bisa luput darimu. Ketahuilah bahwa kemenangan itu menyertai kesabaran, kelapangan itu menyertai kesempitan dan kemudahan itu menyertai kesulitan.” (HR Ahmad, Hakim, dll)
Jika seorang anak telah menghafal hadits ini dan telah memahaminya secara baik, maka Dia tidak akan mendapatkan kendala dihadapannya dan tidak akan mendapatkan sandungan di dalam menjalani seluruh kehidupannya. Hadits ini mempunyai kekuatan yang ampuh dalam memecahkan persoalan anak, disamping juga memiliki pengaruh dalam spiritualitas. Hadits ini mempunyai kemampuan dalam mendorong anak menuju ke depan dengan cara memohon pertolongan kepada Allah ‘Azza wa Jalla, selalu merasa diawasi oleh-Nya, serta melalui keimanannya kepada qadha’ dan qadar. Anak-anak para sahabat menerima bimbingan ini langsung dari Rasulullah shalallahu’alaihi wassalam. Mereka memohon pertolongan kepada Allah ketika mereka mendapatkan bencana dan mereka berkeyakinan bahwa tidak ada daya upaya dan kekuatan kecuali karena bantuan Allah. Mereka percaya bahwa kelapangan itu selalu menyertai kesempitan dan kemudahan itu menyertai kesulitan.
Jadi, pendidikan mana yang kira-kira bisa memberikan pengaruh terhadap kejiwaan anak melebihi pendidikan yang diberikan oleh hadits ini?
Berikut bisa kita saksikan beberapa contoh nyata pada kehidupan para salaf bagaimana mereka menanamkan kecintaan kepada Allah subhanahu wa ta’ala, memohon pertolongan-Nya, merasa selalu diawasi oleh-Nya, serta beriman kepada qadha’ dan qadar. Dan bagaimana hasil yang dicapai dari pendidikan tersebut terhadap anak-anak mereka.
Imam Ahmad meriwayatkan dari Walid bin Ubadah bahwa dia berkata, “Aku mengunjungi Ubadah (ayah) ketika sakit, dimana ketika itu aku membayangkan bahwa ayah akan segera meninggal. Aku katakan kepadanya, “Wahai ayahku, berikan aku pesan.” Dia berkata, “Dudukkanlah aku.” Ketika sahabat-sahabat telah mendudukkannya, ayah berkata, “Wahai anakku sesungguhnya kamu tidak akan bisa merasakan manisnya iman dan tidak akan sampai pada hakikat pengenalan kepada Allah ‘Azza wa Jalla sehingga engkau beriman kepada qadha’ dan qadar yang baik maupun yang buruk.” Aku tanyakan kepadanya, “Wahai Ayah, bagaimana aku bisa mengetahui takdir yang baik maupun yang buruk?” Ayah menjawab, “Engkau mengetahui bahwa yang luput darimu tidak akan menimpamu dan apa yang menimpamu tidak akan luput darimu. Wahai anakku aku mendengar Rasulullah shalallahu’alaihi wassalam bersabda, ‘Sesungguhnya disaat pertama kali Allah menciptakan pena, kemudian Dia berfirman kepadanya, ‘Tulislah!’ Maka mulai saat itu, pena menuliskan segala hal yang bakal terjadi hingga hari kiamat.’ Wahai anakku, jika kamu minta tidak dalam keadaan seperti itu, maka engkau akan masuk neraka.”
Suatu hari ‘Umar bin Khathab rhadliyallahu’anhu menyusuri jalan saat beliau sudah menjadi amirul mukminin. Di tengah jalan terdapat sekumpulan anak-anak yang sedang berjalan. Ketika mereka melihat Umar, maka semuanya lari menyingkir kecuali satu saja, yaitu Abdullah bin Zubair. Umar merasa heran terhadapnya dan kemudian menanyakan kepadanya mengenai sebab mengapa ia tidak turut lari menyingkir. Dia menjawa, “Saya tidak punya kesalahan yang mengharuskan lari dari Anda, dan saya juga tidak merasa takut kapada Anda yang mengharuskan saya meluaskan jalan untuk Anda.”
Suatu kali Ibnu Umar sedang melakukan perjalanan, Dia melihat seorang budak yang sedang menggembalakan kambing, lalu dia berkata kepadanya, “Apakah kamu mau menjual seekor darinya saja?” Dia menjawab, “Sesungguhnya ia bukan milikku.” Ibnu Umar kemudian berkata, “Katakan saja kepadanya bahwa ada serigala yang telah memangsa seekor darinya.” Budak itu berkata, “Lalu dimanakah Allah?”
Sesudah peristiwa itu hingga sekian lama waktu berikutnya Ibnu Umar sering mengucapkan kata-kata dari si budak itu, “Lalu dimanakah Allah?!”
Dikisahkan pula bahwa ada seorang syaikh mempunyai sekian murid. Namun syaikh ini memberikan perhatian khusus kepada salah seorang dari mereka. Hal ini membuat murid yang lainnya merasa iri sehingga akhirnya mereka mengadukan hal itu kepada sang syaikh. Syaikh itu kemudian berkata kepada mereka, “Mari aku jelaskan kepada kalian!”
Syaikh itu kemudian memberi masing-masing murid seekor burung, lalu berkata kepada mereka, “Sekarang berpencarlah dengan membawa burung ini, dan sembelihlah di tempat yang tidak diketahui oleh siapapun!” tak ketinggalan syaikh juga memberikan burung yang sama kepada murid kesayangannya.
Sesudah itu, seluruhnya mencari tempat tersembunyi guna menyembelih burung, dan tak lama kemudian masing-masing kembali dengan membawa burung yang telah mereka sembelih. Namun si murid kesayangan ini kembali dengan membawa burung yang masih hidup. Sang Syaikh bertanya kepadanya, “Kenapa engkau tidak menyembelihnya?” Dia menjawab, “Syaikh menyuruhku untuk menyembelih di tempat yang tidak dilihat oleh siapapun dan aku tidak menemukan satu tempatpun yang tidak dilihat oleh siapapun.” Syaikh kemudian berkata, “Oleh karena itu aku memberikan perhatian yang khusus kepadanya.”
Imam Ghazali dalam kitab Ihya’nya menampilkan sebuh kisah menarik sebagai berikut: Sahl bin Abdillah At-Tastari berkata, “suatu hari ketika saya berusia tiga tahun, pernah bangun malam. Lalu saya perhatikan shalat yang dilakukan paman saya yang bernama Muhammad bin Siwar. Pada suatu hari ia berkata kepadaku, “Apakah engkau mengingat Allah yang telah menciptakanmu?” Saya menjawab, “Bagaimana saya bisa mengingat-Nya?” Dia menjawab, “Ucapkan dalam hatimu ketika engkau hendak tidur sebanyak tiga kali tanpa henti, ‘Allah bersamaku, Allah memperhatikanku, dan Allah menyaksikanku.’ Maka saya mengucapkan kata-kata itu pada malam-malam berikutnya, kemudian saya beritahukan hal itu kepadanya. Dia menjawab, “Ucapkan tujuh kali setiap malam.” Saya pun mengucapkannya, lalu saya kabarkan hal itu kepadanya. Ia lantas berkata lagi, “Ucapkan sepuluh kali tiap malam.” Saya pun mengucapkannya, dan kemudian di dalam hati saya terasa ada kemanisannya. Sesudah satu tahun berlalu, paman berkata kepada saya, “Jagalah terus apa yang telah aku ajarkan kepadamu dan lakukanlah terus hingga engkau masuk kubur karena sesungguhnya hal itu akan memberikan kemanfaatan bagimu di dunia dan akhirat.”
Maka aku terus melakukan itu bertahun-tahun, sehingga saya dapatkan kemanisan di dalam hati. Selanjutnya, paman pada suatu hari berkata, “Wahai Sahl, siapa saja yang merasa bahwa Allah senantiasa bersamanya, memperhatikan dan menyaksikannya, apakah dia akan bermaksiat (durhaka) kepada-Nya? Jauhilah kemaksiatan! Aku dahulu pernah menyendiri, namun kemudian aku dikirim ke madrasah. Aku belajar Al-Qur’an dan berhasil mengahafalnya ketika baru berusia enam atau tujuh tahun. Aku juga senantiasa melakukan puasa. Makananku selama dua belas tahun adalah roti yang terbuat dari tepung gandum.”
Ibnu Zhafar Al-Maghribi dalam bukunya, Anba’ Nujaba’ Al-Abna’ (h.148) membawakan sebuah kisah bahwa Al-Harits Al-Muhasibi ketika masih kecil melewati sekelompok anak kecil yang sedang bermain di depan rumah seorang penjual kurma. Al-Harits kemudian berhenti untuk memperhatikan apa yang tengah mereka lakukan. Pemilik kurma itu kemudian keluar dengan membawa sejumlah kurma, lalu dia berkata kepada Al-Harits, “Makanlah kurma-kurma ini!” Al-Harits bertanya, “Beritahukan kepadaku perihal kurma-kurma ini!” Dia menjawab, “Beberapa saat yang lalu saya menjual kurma kepads seseorang, namun kemudian kurmanya terjatuh.” Al-Harits berkata, “Apakah kamu mengetahuinya?” Dia menjawab, “Ya.” Al-Harits kemudian menoleh kepada anak-anak yang sedang bermain itu dan bertanya, “Apakah orang tua ini muslim?” mereka menjawab, “Ya.” Al-Harits lalu pergi meninggalkannya, namun penjual kurma itu mengejar sehingga berhasil menahannya, dan kemudian bertanya kepadanya, “Demi Allah aku tidak akan melepasmu sehingga engkau katakan kepadaku apa sebenarnya yang ada pada benakmu tentang diriku.” Al-Harits kemudian berkata, “Wahai orang tua jika engkau adalah seorang muslim, maka mintalah keikhlasan kepada pemilik kurma itu sehingga engkau bisa lepas dari tanggung jawab, sebagaimana engkau meminta air ketika engkau sangat kehausan. Wahai orang tua, engkau memberi makanan kepada anak-anak muslim dari barang yang haram, sedangkan engkau sendiri adalah seorang muslim?!” orang tua itu kemudian berkata, “ Demi Allah, aku tidak akan lagi berjualan jika hanya untuk keuntungan dunia!”
Demikian beberapa kisah dari para salafus shalih yang menunjukkan betapa pentingnya penanaman kecintaan kepada Allah subhanahu wa ta’ala, memohon pertolongan-Nya, merasa selalu diawasi oleh-Nya, serta beriman kepada qadha’ dan qadar, sehingga mereka menjadi generasi terbaik bagi umat ini. Semoga kita diberi kemudahan oleh Allah untuk menanamkan hal tersebut bagi anak-anak kita. (Sumber: muslimah.or.id)
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu’anhu bahwa Nabi shalallahu’alaihi wassalam bersabda, “Janganlah kamu mengangkat tongkat terhadap keluargamu, namun tanamkan rasa takut kepada Allah ‘Azza wa Jalla pada diri mereka.” (HR Thabrani dalam As-Shaghir dan Al-Ausath dengan isnad jayyid).
Imam Tirmidzi meriwayatkan hadits dari Ibnu ‘Abbas rhadliyallahu’anhu, bahwa dia berkata: Pada suatu hari saya pernah membonceng di belakang Rasulullah shalallahu’alaihi wassalam, lalu beliau bersabda, “Wahai anak muda sesungguhnya aku akan mengajarkan kepadamu beberapa kalimat. Jagalah Allah niscaya Dia juga akan menjagamu. Jagalah Allah niscaya engkau akan mendapati-Nya ada dihadapanmu. Apabila engkau meminta sesuatu mintalah kepada Allah. Jika engkau memohon pertolongan mohonlah kepada Allah. Ketahuilah andaikan saja umat seluruhnya berkumpul untuk memberikan kemanfaatan kepadamu, mereka tidak akan bisa memberikan manfaat kepadamu kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tetapkan untukmu. Dan andaikan saja mereka bersatu untuk menimpakan kemudharatan terhadapmu, mereka tidak akan bisa memberikan kemudharatan itu terhadapmu kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tetapkan atasmu. Pena telah diangkat dan lembar catatan telah kering.”
Dalam riwayat lainnya disebutkan, “Jagalah Allah, niscaya engkau temukan Dia ada dihadapanmu. Kenalilah Allah dalam keadaan longgar niscaya Dia akan mengenalmu dalam keadaan sempit. Ketahuilah bahwa segala sesuatu yang luput darimu tidak akan menimpamu dan sesuatu yang menimpamu tidak akan bisa luput darimu. Ketahuilah bahwa kemenangan itu menyertai kesabaran, kelapangan itu menyertai kesempitan dan kemudahan itu menyertai kesulitan.” (HR Ahmad, Hakim, dll)
Jika seorang anak telah menghafal hadits ini dan telah memahaminya secara baik, maka Dia tidak akan mendapatkan kendala dihadapannya dan tidak akan mendapatkan sandungan di dalam menjalani seluruh kehidupannya. Hadits ini mempunyai kekuatan yang ampuh dalam memecahkan persoalan anak, disamping juga memiliki pengaruh dalam spiritualitas. Hadits ini mempunyai kemampuan dalam mendorong anak menuju ke depan dengan cara memohon pertolongan kepada Allah ‘Azza wa Jalla, selalu merasa diawasi oleh-Nya, serta melalui keimanannya kepada qadha’ dan qadar. Anak-anak para sahabat menerima bimbingan ini langsung dari Rasulullah shalallahu’alaihi wassalam. Mereka memohon pertolongan kepada Allah ketika mereka mendapatkan bencana dan mereka berkeyakinan bahwa tidak ada daya upaya dan kekuatan kecuali karena bantuan Allah. Mereka percaya bahwa kelapangan itu selalu menyertai kesempitan dan kemudahan itu menyertai kesulitan.
Jadi, pendidikan mana yang kira-kira bisa memberikan pengaruh terhadap kejiwaan anak melebihi pendidikan yang diberikan oleh hadits ini?
Berikut bisa kita saksikan beberapa contoh nyata pada kehidupan para salaf bagaimana mereka menanamkan kecintaan kepada Allah subhanahu wa ta’ala, memohon pertolongan-Nya, merasa selalu diawasi oleh-Nya, serta beriman kepada qadha’ dan qadar. Dan bagaimana hasil yang dicapai dari pendidikan tersebut terhadap anak-anak mereka.
Imam Ahmad meriwayatkan dari Walid bin Ubadah bahwa dia berkata, “Aku mengunjungi Ubadah (ayah) ketika sakit, dimana ketika itu aku membayangkan bahwa ayah akan segera meninggal. Aku katakan kepadanya, “Wahai ayahku, berikan aku pesan.” Dia berkata, “Dudukkanlah aku.” Ketika sahabat-sahabat telah mendudukkannya, ayah berkata, “Wahai anakku sesungguhnya kamu tidak akan bisa merasakan manisnya iman dan tidak akan sampai pada hakikat pengenalan kepada Allah ‘Azza wa Jalla sehingga engkau beriman kepada qadha’ dan qadar yang baik maupun yang buruk.” Aku tanyakan kepadanya, “Wahai Ayah, bagaimana aku bisa mengetahui takdir yang baik maupun yang buruk?” Ayah menjawab, “Engkau mengetahui bahwa yang luput darimu tidak akan menimpamu dan apa yang menimpamu tidak akan luput darimu. Wahai anakku aku mendengar Rasulullah shalallahu’alaihi wassalam bersabda, ‘Sesungguhnya disaat pertama kali Allah menciptakan pena, kemudian Dia berfirman kepadanya, ‘Tulislah!’ Maka mulai saat itu, pena menuliskan segala hal yang bakal terjadi hingga hari kiamat.’ Wahai anakku, jika kamu minta tidak dalam keadaan seperti itu, maka engkau akan masuk neraka.”
Suatu hari ‘Umar bin Khathab rhadliyallahu’anhu menyusuri jalan saat beliau sudah menjadi amirul mukminin. Di tengah jalan terdapat sekumpulan anak-anak yang sedang berjalan. Ketika mereka melihat Umar, maka semuanya lari menyingkir kecuali satu saja, yaitu Abdullah bin Zubair. Umar merasa heran terhadapnya dan kemudian menanyakan kepadanya mengenai sebab mengapa ia tidak turut lari menyingkir. Dia menjawa, “Saya tidak punya kesalahan yang mengharuskan lari dari Anda, dan saya juga tidak merasa takut kapada Anda yang mengharuskan saya meluaskan jalan untuk Anda.”
Suatu kali Ibnu Umar sedang melakukan perjalanan, Dia melihat seorang budak yang sedang menggembalakan kambing, lalu dia berkata kepadanya, “Apakah kamu mau menjual seekor darinya saja?” Dia menjawab, “Sesungguhnya ia bukan milikku.” Ibnu Umar kemudian berkata, “Katakan saja kepadanya bahwa ada serigala yang telah memangsa seekor darinya.” Budak itu berkata, “Lalu dimanakah Allah?”
Sesudah peristiwa itu hingga sekian lama waktu berikutnya Ibnu Umar sering mengucapkan kata-kata dari si budak itu, “Lalu dimanakah Allah?!”
Dikisahkan pula bahwa ada seorang syaikh mempunyai sekian murid. Namun syaikh ini memberikan perhatian khusus kepada salah seorang dari mereka. Hal ini membuat murid yang lainnya merasa iri sehingga akhirnya mereka mengadukan hal itu kepada sang syaikh. Syaikh itu kemudian berkata kepada mereka, “Mari aku jelaskan kepada kalian!”
Syaikh itu kemudian memberi masing-masing murid seekor burung, lalu berkata kepada mereka, “Sekarang berpencarlah dengan membawa burung ini, dan sembelihlah di tempat yang tidak diketahui oleh siapapun!” tak ketinggalan syaikh juga memberikan burung yang sama kepada murid kesayangannya.
Sesudah itu, seluruhnya mencari tempat tersembunyi guna menyembelih burung, dan tak lama kemudian masing-masing kembali dengan membawa burung yang telah mereka sembelih. Namun si murid kesayangan ini kembali dengan membawa burung yang masih hidup. Sang Syaikh bertanya kepadanya, “Kenapa engkau tidak menyembelihnya?” Dia menjawab, “Syaikh menyuruhku untuk menyembelih di tempat yang tidak dilihat oleh siapapun dan aku tidak menemukan satu tempatpun yang tidak dilihat oleh siapapun.” Syaikh kemudian berkata, “Oleh karena itu aku memberikan perhatian yang khusus kepadanya.”
Imam Ghazali dalam kitab Ihya’nya menampilkan sebuh kisah menarik sebagai berikut: Sahl bin Abdillah At-Tastari berkata, “suatu hari ketika saya berusia tiga tahun, pernah bangun malam. Lalu saya perhatikan shalat yang dilakukan paman saya yang bernama Muhammad bin Siwar. Pada suatu hari ia berkata kepadaku, “Apakah engkau mengingat Allah yang telah menciptakanmu?” Saya menjawab, “Bagaimana saya bisa mengingat-Nya?” Dia menjawab, “Ucapkan dalam hatimu ketika engkau hendak tidur sebanyak tiga kali tanpa henti, ‘Allah bersamaku, Allah memperhatikanku, dan Allah menyaksikanku.’ Maka saya mengucapkan kata-kata itu pada malam-malam berikutnya, kemudian saya beritahukan hal itu kepadanya. Dia menjawab, “Ucapkan tujuh kali setiap malam.” Saya pun mengucapkannya, lalu saya kabarkan hal itu kepadanya. Ia lantas berkata lagi, “Ucapkan sepuluh kali tiap malam.” Saya pun mengucapkannya, dan kemudian di dalam hati saya terasa ada kemanisannya. Sesudah satu tahun berlalu, paman berkata kepada saya, “Jagalah terus apa yang telah aku ajarkan kepadamu dan lakukanlah terus hingga engkau masuk kubur karena sesungguhnya hal itu akan memberikan kemanfaatan bagimu di dunia dan akhirat.”
Maka aku terus melakukan itu bertahun-tahun, sehingga saya dapatkan kemanisan di dalam hati. Selanjutnya, paman pada suatu hari berkata, “Wahai Sahl, siapa saja yang merasa bahwa Allah senantiasa bersamanya, memperhatikan dan menyaksikannya, apakah dia akan bermaksiat (durhaka) kepada-Nya? Jauhilah kemaksiatan! Aku dahulu pernah menyendiri, namun kemudian aku dikirim ke madrasah. Aku belajar Al-Qur’an dan berhasil mengahafalnya ketika baru berusia enam atau tujuh tahun. Aku juga senantiasa melakukan puasa. Makananku selama dua belas tahun adalah roti yang terbuat dari tepung gandum.”
Ibnu Zhafar Al-Maghribi dalam bukunya, Anba’ Nujaba’ Al-Abna’ (h.148) membawakan sebuah kisah bahwa Al-Harits Al-Muhasibi ketika masih kecil melewati sekelompok anak kecil yang sedang bermain di depan rumah seorang penjual kurma. Al-Harits kemudian berhenti untuk memperhatikan apa yang tengah mereka lakukan. Pemilik kurma itu kemudian keluar dengan membawa sejumlah kurma, lalu dia berkata kepada Al-Harits, “Makanlah kurma-kurma ini!” Al-Harits bertanya, “Beritahukan kepadaku perihal kurma-kurma ini!” Dia menjawab, “Beberapa saat yang lalu saya menjual kurma kepads seseorang, namun kemudian kurmanya terjatuh.” Al-Harits berkata, “Apakah kamu mengetahuinya?” Dia menjawab, “Ya.” Al-Harits kemudian menoleh kepada anak-anak yang sedang bermain itu dan bertanya, “Apakah orang tua ini muslim?” mereka menjawab, “Ya.” Al-Harits lalu pergi meninggalkannya, namun penjual kurma itu mengejar sehingga berhasil menahannya, dan kemudian bertanya kepadanya, “Demi Allah aku tidak akan melepasmu sehingga engkau katakan kepadaku apa sebenarnya yang ada pada benakmu tentang diriku.” Al-Harits kemudian berkata, “Wahai orang tua jika engkau adalah seorang muslim, maka mintalah keikhlasan kepada pemilik kurma itu sehingga engkau bisa lepas dari tanggung jawab, sebagaimana engkau meminta air ketika engkau sangat kehausan. Wahai orang tua, engkau memberi makanan kepada anak-anak muslim dari barang yang haram, sedangkan engkau sendiri adalah seorang muslim?!” orang tua itu kemudian berkata, “ Demi Allah, aku tidak akan lagi berjualan jika hanya untuk keuntungan dunia!”
Demikian beberapa kisah dari para salafus shalih yang menunjukkan betapa pentingnya penanaman kecintaan kepada Allah subhanahu wa ta’ala, memohon pertolongan-Nya, merasa selalu diawasi oleh-Nya, serta beriman kepada qadha’ dan qadar, sehingga mereka menjadi generasi terbaik bagi umat ini. Semoga kita diberi kemudahan oleh Allah untuk menanamkan hal tersebut bagi anak-anak kita. (Sumber: muslimah.or.id)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan posting komentar Anda, insya Allah berguna...