Selasa, 20 Desember 2011

Perlunya Pendidikan Wirausaha Sejak Usia DIni

Jiwa wirausaha (entrepreneurship) harus ditanamkan oleh para orang tua dan sekolah ketika anak-anak mereka dalam usia dini. Kewirausahaan ternyata lebih kepada menggerakkan perubahan mental. Jadi tak perlu dipertentangkan apakah kemampuan wirausaha itu berkat adanya bakat atau hasil pendidikan.
Demikian salah satu kesimpulan yang terungkap dalam Parenting Seminar yang diselenggarakan Universitas Paramadina, di Jakarta, beberapa waktu lalu. Sebagai pembicara dalam seminar tersebut adalah CEO PT Graha Layar Prima Ananda Siregar, pakar kepribadian sekaligus Presiden Direktur Lembaga Pendidikan Duta Bangsa Mien R Uno, dan Presiden Direktur Kiroyan Kuhon Partners/PT Komunikasi Kinerja, Noke Kiroyan. Mien Uno mengatakan bahwa untuk menjadi wirausahawan andal dibutuhkan sebuah karakter unggul.

Karakter unggul tersebut adalah pengenalan terhadap diri sendiri (self awareness), kreatif, mampu berpikir kritis, mampu memecahkan permasalahan (problem solving), dapat berkomunikasi, mampu membawa diri di berbagai lingkungan, menghargai waktu (time orientation), empati, mau berbagi dengan orang lain, mampu mengatasi stres, bisa mengendalikan emosi, dan mampu membuat keputusan. Karakter tersebut, masih menurut Mien Uno, akan terbentuk melalui sebuah proses yang panjang.

Dalam proses ini, orang tua anak perlu mengambil peranan. Orang tua perlu menyupervisi anak dengan memberi contoh yang baik dan menjaga agar ucapannya sama dengan tindakan. Selain itu, orang tua ikut memotivasi anak, mengevaluasi, dan memberikan apresiasi atas prestasi anak. Membangun jiwa kewirausahaan memang sangat penting, lebih-lebih dengan meningkatnya angka pengangguran terdidik.
Kriteria pengangguran terdidik adalah para lulusan perguruan tinggi,baik D-1,D-2,D-3,S-1,S-2 maupun S-3 yang belum mendapatkan pekerjaan dan tentunya mereka berpredikat sebagai pencari kerja. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) 2007, jika pengangguran terdidik mencapai 6,16% atau 673.628 orang pada Agustus 2006, jumlah tersebut naik menjadi 7,02% atau 740.206 orang pada Februari 2007. Mengutip pendapat sosiolog David Mc Celland, suatu negara bisa menjadi makmur manakala memiliki sedikitnya dua persen entrepreuneur (wirausahawan) dari jumlah penduduk. Dari data statistik BPS (2007), Indonesia baru memiliki 400.000 wiraswastawan atau 0,18 persen dari jumlah penduduk. Untuk itu, Indonesia perlu secara serius mempersiapkan lahirnya generasi entrepreuneur untuk mencapai kemajuan ekonomi yang pesat.

Bagi sebagian orang, pendidikan bisa menjadi faktor pendorong kesuksesan untuk berwirausaha. Seseorang memang tidak perlu berpredikat sarjana untuk menjadi pengusaha, tetapi dengan latar belakang pendidikan akademik, berarti akan banyak kesempatan terbuka karena lebih luas wawasannya dalam melihat berbagai peluang bisnis yang ada.

Problem utama dalam membangun jiwa kewirausahaan adalah kurangnya kesadaran akan arti penting dan urgensinya menjadi pemuda yang mandiri dan berwirausaha. Kini masih banyak pemuda terdidik dari organisasi kepemudaan yang lebih berorientasi kepada pergerakan politik dan kekuasaan karena mereka cenderung memilih cara instan untuk menjadi terkenal dan politisi andal, tetapi dari aspek ekonomi mereka jauh tertinggal. Jadi, tahap awal yang harus dilakukan dalam memberdayakan pemuda adalah membangun jiwa pemuda yang mandiri dan menanamkan semangat hidup berwirausaha agar kemandirian mudah dibangun. Berarti pendidikan dalam konteks ini mestinya bukan sekadar untuk mencetak generasi terampil serta memiliki kompetensi tinggi, tetapi juga harus mampu mencetak generasi dengan jiwa wirausaha.
Ikon bahwa sekolah hanya mencari ilmu, lantas mencari pekerjaan, harus diubah menjadi mencari ilmu dan mengaplikasikannya di lapangan. Dengan demikian, pendidikan nasional harus mampu membawa generasi terdidik untuk menciptakan pekerjaan.

Pendidikan kewirausahaan yang diajarkan sejak SD bisa mengubah tipe pendidikan nasional kita yang sudah terlanjur menjadi birokrasi minded karena melulu difokuskan untuk mencetak generasi baru yang hanya untuk mengisi kantor-kantor saja. Dengan fakta angka pengangguran terdidik yang makin melonjak dari tahun ke tahun, kini tipe pendidikan birokrasi minded tidak layak dibiarkan terus-menerus. Sekarang saatnya anak-anak sejak SD diajari untuk mengenal berbagai jenis kewirausahaan, sebagai alternatif menghadapi masa depan di luar cita-cita menjadi pegawai kantor.

Mental priyayi sebagai konsekuensi dari birokrasi minded, yang selama ini menjadi tipe pendidikan nasional kita, harus mulai dihapus. Sebab faktanya menunjukkan, lowongan pekerjaan di kantor selalu terbatas. Sebaliknya, peluang kerja di luar kantor terbuka lebar untuk semua generasi. Jika pendidikan nasional dibiarkan bertipe birokrasi minded, dikhawatirkan hanya akan menambah angka pengangguran terdidik dari tahun ke tahun. Masih terlalu banyak lulusan perguruan tinggi yang bermental priyayi, sehingga tidak bersedia merintis usaha kecil dan memilih menganggur sambil mondar-mandir keluar masuk kantor menawarkan surat lamaran kerja yang dilampiri ijasah sarjananya.

Jika generasi muda dibiarkan bermental priyayi, ujung-ujungnya banyak di antara mereka yang hanya akan menjadi kuli di negara lain, sehingga makin menguatkan citra Indonesia sebagai bangsa kuli. Hal ini hanya bisa dihentikan dengan memberikan pendidikan kewirausahaan kepada anak-anak sejak SD. Betapa mental priyayi banyak dimiliki jajaran pendidik kita, sehingga bisa menjadi kendala untuk mengajarkan pendidikan kewirausahaan di sekolah-sekolah.

Jadi, kendala utama untuk mengajarkan pendidikan kewirausahaan di sekolah terletak pada guru-guru di sekolah. Hal ini hanya bisa diatasi dengan poltical will dari pemerintah dalam bentuk instruksi resmi dari otoritas pendidikan (Depdiknas) kepada kepala-kepala sekolah agar mengajarkan pendidikan kewirausahaan.

Rabu, 07 Desember 2011

Wirausaha Sejak Taman Kanak-Kanak

Ketua Harian Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO, Arief Rachman mengatakan, pendidikan kewirausahaan hendaknya tidak hanya diajarkan mulai dari jenjang SD hingga Perguruan Tinggi. Menurutnya, akan lebih baik jika kewirausahaan juga diajarkan sejak anak-anak memasuki bangku taman kanak-kanak (TK). Hal itu dikatakannya pada pembukaan Konferensi Internasional UNESCO-APEID ke-15, Selasa (6/12/2011), di Hotel Sultan, Jakarta. Konferensi ini mengambil tema "Pendidikan yang Inspiratif: Kreativitas dan Kewirausahaan".. "Jadi nantinya tidak hanya jenjang SD sampai perguruan tinggi. Tetapi jika perlu sejak Taman Kanak-kanak (TK) sudah ditanamkan pendidikan kewirausahaan," kata Arief.
Ia mengungkapkkan, selain bertujuan untuk meningkatkan pemahaman dan pengetahuan tentang kewirausahaan, konferensi internasional ini juga merupakan langkah inisiatif pendidikan kewirausahaan, tentang praktik kewirausahaan, dan sebagai upaya untuk mendongkrak pendidikan kewirausahaan di semua level pendidikan.

Konferensi yang berlangsung 6-8 Desember 2011 ini dihadiri oleh para akademisi, pendidik, dan pengusaha terkemuka di kawasan Asia Pasifik. Sejumlah hal akan dibahas, di antaranya akan dilakukan kajian mengenai cara-cara untuk mengoptimalkan kreativitas dan kewirausahaan di bidang pendidikan.

Sebanyak lebih dari 400 peserta yang berasal dari sekitar 20 negara yang berpartisipasi akan melihat contoh-contoh bidang usaha dan kisah-kisah keberhasilan dari sektor publik mau pun swasta serta mengeksplorasi daya kreativitas dan kewirausahaan. Ke depannya, contoh-contoh ini diharapkan mampu menginspirasi generasi mendatang yang terdiri dari orang-orang inovatif untuk berpikir secara lateral (kreatif) dan berani mengambil risiko yang telah diperhitungkan.

Salah satu pembicara utama, Larry O'Farrel, seorang guru besar dan Ketua Bidang Seni dan Pembelajaran UNESCO dari Fakultas Pendidikan, Universitas Queen's Kanada mengatakan, dunia membutuhkan orang-orang kreatif. Individu dengan karakter seperti ini diharapkan mampu menyelesaikan masalah di semua sektor perekonomian untuk meningkatkan produktivitas dan kewirausahaan serta mengatasi tantangan sosial dan budaya yang besar.

Oleh karena itu, kebutuhan yang lebih mendesak adalah sistem pendidikan yang dapat meningkatkan kapasitas kreatif generasi mahasiswa saat ini dan akan datang. Namun, kata dia, mengutip para kritikus pendidikan, konfigurasi pendidikan saat ini kurang dilengkapi perangkat untuk memenuhi kebutuhan tersebut.

"Di banyak bagian dunia, penghafalan masih menjadi satu-satunya metode pengajaran yang digunakan. Di negara-negara yang lebih maju, penguasaan pengetahuan lebih diprioritaskan daripada eksperimen kreatif akibat adanya efek penghambat dari ujian yang distandarisasi," kata O'Farrel.

Selain O'Farrel, para pembicara lainnya yang akan hadir di konferensi ini adalah Wang Libing (Guru Besar Bidang Pendidikan, Universitas Zhejiang, RRC), Ciputra (pendiri Grup Ciputra dan Ciputra Entrepreneur Center), serta Sofjan Wanandi (Ketua Asosiaso Pengusaha Indonesia (Apindo)), dan Mira Lesmana (penulis sekaligus produser film Indonesia). Dikutip dari: Kompas.com (6 Desember 2011.

Selasa, 06 Desember 2011

Terbiasa Menghadapi Masalah


Membentuk mental wirausaha berarti kita harus terbiasa untuk menghadapi masalah dan mencari solusinya terus menerus dari masa ke masa. Seorang wirausaha selalu menyadari bahwa ketika suatu permasalahan sudah terselesaikan dengan baik, maka sudah merupakan hal yang biasa apabila muncul permasalahan baru, dan seorang wirausaha amat tertantang untuk segera menyelesaikannya.

Hidup tidak lain adalah perpindahan dari satu masalah ke masalah yang lain. Hidup merupakan berpindah-pindahnya satu kesulitan ke kesulitan yang lain. Bahkan setiap kesulitan yang menimpa pada saat yang akan datang pastilah akan lebih sulit dan kompleks cara penanganannya dibandingkan kesulitan pada masa yang lalu dan kini. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Surat Al-Insyiqoq ayat 19 yang artinya :

“Sesungguhnya kamu melalui tingkat demi tingkat (dalam kehidupan)”

Seseorang menjadi wirausahawan bukanlah soal keturunan, melainkan masalah pilihan dan kemauan. Kunci sukses wirausaha bukan terletak pada orang lain, orang-orang di sekitar kita, tetapi oleh kita sendiri. Mentalitas wirausaha dapat dibentuk dengan merubah mindset, merubah pola atau cara berfikir. Tinggal pertanyaannya adalah, apakah kita akan terus menjadi orang yang biasa-biasa saja atau menjadi orang yang luas biasa, yaitu menjadi wirausahawan sukses.

Syaratnya adalah kita harus merubah mindset dari orang gagal menjadi orang yang berhasil. Dari orang yang berfikir negatif menjadi orang yang selalu berfikir positif. Dari orang yang selalu berperasaan susah menjadi orang yang selalu bahagia dalam hidup. Caranya adalah berusaha memberikan nilai tambah dalam hal apapun, bertanggung jawab atas apa yang dilakukan, bisa diandalkan dalam hal apapun dan berkomitmen untuk melakukan perubahan atas diri kita. 

Kamis, 01 Desember 2011

Kompetensi Wirausaha

Seorang harus memiliki persyaratan-persyaratan tertentu sebagai modal dasar agar ia dapat disebut sebagai seorang wirausahawan, di antaranya adalah :
·Memiliki ide yang jelas dan fokus terhadap tujuan
·Kemauan dan komitmen yang tidak mudah tergoyahkan
·Selalu berani untuk memulai sesuatu

Sedangkan mengenai kecukupan modal, tenaga dan pemikiran merupakan variabel yang bersifat relatif tergantung ide dan komitmen wirausaha tersebut. Menurut Casson sebagaimana dikutip oleh Yuyun Wirasasmita (1993:3) mengenai beberapa kemampuan yang harus dimiliki oleh seorang wirausahawan, yaitu[1]

-Self knowledge. Yaitu memiliki pengetahuan tentang usaha yang akan dilakukan atau ditekuninya. 
-Imagination. Yaitu memiliki imajinasi, ide dan perspektif serta tidak mengandalkan pada sukses di masa yang lalu.
-Practical skill. Yaitu memiliki pengetahuan praktis, misalnya pengetahuan teknik, desain, prosesing, pembukuan, administrasi dan pemasaran. 
-Search skill. Yaitu kemampuan untuk menemukan, berkreasi dan berimajinasi 
-Foresight. Yaitu berpandangan jauh ke depan 
-Computation skill. Yaitu kemampuan berhitung dan kemampuan memprediksi keadaan masa yang akan datang

-Communication skill. Yaitu kemampuan untuk berkomunikasi, bergaul dan berhubungan dengan orang lain.

Norman M.Scarborough (1993) mengungkapkan bahwa kompetensi kewirausahaan yang diperlukan sebagai syarat-syarat bisnis, meliputi :
1.Proaktif. Selalu ada inisiatif dan tegas dalam melaksanakan tugas.
2.Berorientasi pada prestasi atau kemajuan, cirinya adalah :
-Selalu mencari peluang-peluang baru
-Berorientasi pada efisiensi
-Konsen pada kerja keras
-Perencanaan yang sistematis
-Selalu memonitor keadaan
3.Komitmen terhadap perusahaan atau orang lain, cirinya adalah :
-Selalu memegang teguh kontrak kerja
-Mengenal tentang betapa penting hubungan bisnis


[1] Budi, Triton Prawira. 2007. Panduan Sikap dan Perilaku Entrepreneurship, Kiat Sukses Menjadi Pengusaha, Cetakan I. Yogyakarta : Tugu Publisher. Hlm.136.

a